Indonesia Akan Kaya dengan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.504 pulau. Philipina dengan jumlah pulau 7.100 menempati peringkat 2 terbesar di dunia (Arroyo, 2012). Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 atau 200.000 hektar beserta kesatuan ekosistemnya (UU No. 1/2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).

Atas dasar definisi tersebut, sekitar 90 persen dari seluruh pulau milik NKRI berupa pulau kecil. Selain lima pulau besar utama, yaitu Sumatera, Jawa, kalimantan, Sulawesi dan Papua. Pulau-pulau besar lainnya antara lain adalah Sabang, Simeleu, Nias, Mentawai, Batam, Bintan, Natuna, Enggano, Banka, Belitung, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Lembata, Rote, Buton, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Waigeo dan Biak.

Sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada September 1999, pemerintah kurang peduli dengan pulau-pulau kecil. Namun, sejak adanya KKP, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Kelautan; dilakukanlah pendataan pulau-pulau kecil yang meliputi luasnya, potensi pembangunan (sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan), kependudukan, kegiatan ekonomi yang ada dan berbagai aspek lainnya. Sejak tahun 2000 KKP menyusun naskah akademis RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena melibatkan begitu banyak instansi, maka baru pada 2007 DPR akhirnya menyetujui UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian direvisi menjadi UU No.1/2014.

pulau-kecil
Illustrasi pulau pulau kecil (sumber : google)

Dengan anggaran yang terbatas, KKP bekerjasama dengan Kementerian lain, lembaga non kementerian, dan pemerintah daerah, mulai membangun infrastruktur dan fasilitas pembangunan serta menyusun dan mengimplementasikan Rencana Pengelolaan Pembangunan sejumlah pulau kecil. KKP juga sangat aktif mengajak investor baik nasional maupun internasional (asing) untuk membangun, berinvestasi dan melakukan usaha ekonomi di pulau-pulau kecil secara produktif, inklusif dan ramah lingkungan.

Hasilnya, pada 2012 Pemerintahan RI c.q. KKP dan Kementerian Luar Negeri berhasil mendaftarkan 13.466 pulau berikut namanya kepada PBB, tepatnya UNGEGN (United Nation Group of Expert on Geographic Names), dan baru 2014 PBB mengesahkan seluruh pulau yang didaftarkan oleh Indonesia tersebut. Dengan demikian, hingga saat ini jumlah pulau yang belum resmi memiliki nama sekitar 4.038 lagi. Selama 2017 ini pemerintah mentargetkan untuk mendaftarkan 1.106 pulau lagi kepada PBB. Akan tetapi, dibalik kerja keras pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang lebih maju, sejahtera, nyaman dan aman, perkembangannya dibilang sangat lambat.

Betapa tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan dari tahun 2000 sampai sekarang, baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan oleh swasta yang sebagaian untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi. Dari 54 pulau itu, 33 pulau investornya dari luar negeri, dan investor di 21 pulau lainnya dari dalam negeri (nasional).

Sebenarnya ketika KKP mengeluarkan kebijikan diizinkannya investor nasional maupun asing untuk berinvestasi dan mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001, sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang dan Taiwan menyatakan minatnya. Sayang, saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional menolak kebijakan tersebut.

Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan minat investasinya. Rupaya reaksi sejumlah LSM dan tokoh nasional serupa terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16 tahun lalu, sekarang terulang kembali ketika di awal tahun ini Menko Maritim dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk mengundang pihak asing berinvestasi di pulau-pulau kecil Indonesia.

Urgensi pembangunan pulau kecil

Sedikitnya ada empat alasan utama bagi bangsa Indonesia untuk segera mendayagunakan pulau-pulau kecil. Pertama, adalah bahwa dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Itupun pola pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sehingga, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan atau sudah ada kegiatan pembangunan (ekonomi)nya tetap tidak maju, kebanyakan penduduknya hidup miskin, dan kualitas lingkungan hidupnya buruk. Kebanyakan penduduk yang menghuni pulau-pulau kecil dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja yang kurang terdidik dan produktif.

Orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi terlahir di pulau kecil, kebanyakan hijrah ke Jakarta atau pulau Jawa. Padahal, potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa besar.

Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif, inklusif dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI. Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia, dan kesejahteraan masyarakatpun meningkat. Bila kita mampu membangun rata-rata 100 pulau baru dalam satu tahun, maka pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015 hanya sekitar 5 persen per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7 persen per tahun. Dengan demikian, permasalahan utama bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan serta renahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat diatasi. Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar Jawa secara otomatis akan terkoreksi. Sebab, dengan tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa ke Jawa.

Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar (terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif dan ramah lingkungan sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru berarti kita membangun semacam sabuk kemakmuran (proseperity belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan kedaulatan NKRI.

Keempat, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh investor asing maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan, perikanan dan penampungan minyak bumi sejak masa order baru sampai sebelum adanya KKP hanya kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat lokal. Lebih dari itu, acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan masyarakat lokal dan mengancam kedaulatan NKRI.

Oleh sebab itu, kita harus menempatkan kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI di atas segalanya dalam proses pembangunan pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor asing. Kita harus berpedoman pada UU No.27/2007 Jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan perundangan RI lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang investor ke pulau-pulau kecil.

Pedoman pembangunan dan investasi

Tantangan dalam membangun pulau-pulau kecil untuk kemajuan, kesejahteraan dan kedaulatan bangsa adalah bagaimana kita meramu dan mengimplementasikan paket kebijakan supaya para investor (nasional atau asing) yang bonafide mau menanamkan modalnya dan mengembangkan usaha ekonomi, dan pada saat yang sama kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI pun bisa ditegakkan. Kepentingan nasional itu antara lain berupa manfaat ekonomi bagi negara dan rakyat, kelestarian lingkungan dan alih teknologi.

Investor dan pengusaha itu sangat penting dalam membangun ekonomi wilayah, termasuk pulau-pulau kecil. Pasalnya, fungsi utama anggaran pemerintah (APBN/APBD) di seluruh negara di dunia adalah untuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan dan agama), peraturan perundang-undangan dan kelembagaan. Sedangkan untuk mengembangkan usaha ekonomi, menggerakkan bisnis, dan modal kerja (working capital) disuatu wilayah atau negara adalah merupakan peran investor, pengusaha dan entreprenuer. Bagi para investor, tentunya mereka ingin investasinya aman dan menghasilkan untung secara berkelanjutan.

Sesuai dengan UU No.1/2014 di atas, kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan kepentingan investor, maka pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil oleh swasta nasional maupun asing seyogyanya mengikuti pedoman (guidelines) sebagai berikut;

Pertama, baik swasta nasional maupun asing tidak boleh memiliki pulau, tetapi diizinkan memiliki HGN (Hak Guna Usaha) di pulau tersebut untuk jangka waktu 35-50 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakan pemerintah RI dengan pihak investor. Sebaiknya investasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun asing) ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada penduduknya.

Kedua, sedikitnya 40 persen dari total luas daratan pulau harus dialokasikan untuk kawasan hutan lindung (protected area) seperti garis sepadan pantai (set back zone), hutan lindung, dan ruang terbuka hijau. Luas daratan sisanya, maksimal 60 persen dari total luas daratan pulau boleh dikembangkan untuk kawasan pembangunan (usaha ekonomi), seperti parawisata, properti dan bangunan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan industri yang ramah lingkungan.

Ketiga, semua kegiatan pembangunan, investasi dan bisnis di pulau-pulau kecil harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui pemerintah pusat, didahului dengan studi AMDAL, building code (bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tingginya pohon tertinggi yang ada di pulau termaksud), menggunakan energi terbarukan (energi solar, angin, arus laut dan sebagainya), usahakan tidak membuang limbah maupun emisi gas rumah kaca dengan menerapkan teknologi 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle) dan mitigas serta adaptasi terhadap bencana alam.

Keempat, dalam memanfaatkan wilayah perairan sekitar pulau harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua ketentuan peraturan perundang-undangan RI yang relevan.

Kelima, selain royalti dan pajak, pihak investor juga harus menyimpan dana jaminan (doposit money) di kas negara selama masa HGU. Besaran dana jaminan per pulau di AS itu berkisar antara 100 juga dolar AS sampai 1 milyar dolar AS, bergantung pada luas pulau dan potensi pembangunan (ekonomi)nya. Bayangkan, bila kita mampu menarik investor untuk 100 pulau setiap tahun, maka kita dapat dana segar antara 10-100 milyar dolar AS (130 – 1.300 trilyun) per tahun.

Keenam, tenaga kerja asing hanya boleh di bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, dan jumlah tenaga kerja asing maksimal 10 persen dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. Gaji atau upah karyawan harus yang bisa mensejahterakan diri dan keluarganya.

Ketujuh, untuk menjamin keamanan dan kedaulatan NKRI, pemerintah RI bisa menempatkan polisi dan atau tentara di pulau yang investornya dari luar negeri.

Kedelapan, harus ada alih teknologi dari pihak asing kepada tenaga kerja Indonesia, dari swassta nasional kepada masyarakat lokal.

Kesembilan, seperti di Mauritius, Madives, AS dan beberapa negara di Karibia dan Pasifik Selatan yang berhasil mengelola pulau-pulau kecilnya, bisa juga diterapkan konsep ‘One Island, One Company’. Artinya perencanaan, investasi dan bisnis, pemasaran dan pengelolaan satu pulau diserahkan kepada satu perusahan dengan mengikuti kedalapan persyaratan di atas. (Penulis)