Investasi Desa Berbasis Hijau

Kini saatnya pemerintah memikirkan pembangunan desa berbasis kota urban berwawasan lingkungan hijau tanpa merusak kondisi lingkungan desa. Jika perlu menjadikan tema hari lingkungan terutama bagi desa-desa yang berbatas dengan ibukota propinsi, sangat penting dalam mengantispasi kemajuan jasa transportasi.

Pembangunan jaringan transportasi di sekitar desa yang masuk ke dalam kota sub urban sebagai refleksi menuju tata ruang yang humanis dengan lingkungan hijau. Penting diingat, umumnya bencana banjir Ibukota Provinsi dampak dari kerusakan lingkungan hutan dan kemajuan pembangunan sarana industri dan pemukiman yang merambat dan membabat zona hijau kawasan pertanian dan rawa-rawa sebagai zona ekologis air berkelanjutan.

Isu mengenai dampak kemajuan pembangunan fisik terhadap lingkungan hijau terutama dampak dari kemajuan transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil sangat penting diantisipasi bagi perencana pembangunan tata ruang dan sekaligus mengambil pelajaran yang berharga dari kemacetan, banjir dan semrawutan tata ruang transportasi dari kota besar yang ada Indonesia baik di dalam inti dan pinggir perbatasan kota. Contoh Jakarta dan Medan, menghadapi bencana klasik banjir tahunan.

Ada beberapa faktor perlunya pemerintah membangun jaringan transporatasi dan penataan ruang desa-desa di kota satelit Ibukota Provinsi di Indonesia antara lain pertama, sebagai strategi untuk memberikan kemudahan transportasi publik dengan implikasi pembatasan kendaraan ke pusat inti, misalnya kota Medan maupun ibukota Kecamatan tanpa menghilangkan identitas daerah agrariamarinpolitan dan harus ditindak lanjuti dengan aturan penataan ruang jalan yang telah di buat agar tidak terjadi kemacetan.

Kedua, membangun desa ke kota dengan konsep smart dan TOD, agar penataan ruang lebih baik dan pengendalian bencana ruang hijau dapat diminimalisasikan sehingga identitas Desa dapat terjaga khususnya sebagai kawasan ekologi untuk keseimbangan alam lingkungan. berfungsi sebagai pengendalian pembangunan horizontal ke lahan ekonomi hijau.

Ketiga, bertujuan mengendalikan kerusakan ekologi hijau akibat derasnya arus pembangunan fisik hunian, pembangunan fly over dapat digunakan sebagai landasan keseimbangan yaitu dengan menekan arus pembangunan di daerah sekitar jalur hijau.

Keempat, pembangunan jalur alternatif singkat dapat mengurangi dampak bahaya bagi kesehatan masyarakat dan ekosistem desa atau dapat memenuhi kebutuhan mobilitas yang ada secara konsisten. Selain itu, dampak pemakaian BBM transportasi dari bahan bakar fosil berperan besar dalam mempengaruhi perubahan iklim.

Data menunjukkan bahwa sektor transportasi umumnya berkonstribusi sekitar 23 persen dari emisi gas CO yang menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas lingkungan di desa dan tumbuh lebih cepat dari penggunaan energi di sektor lainnya sehingga desa di perbatasan harus di tata sesuai dengan kondisi tatanan geologinya, tujuannya, sangat jelas agar dapat mengurangi dampak kerusakan ekosistem tatanan lingkungan yang banyak terdapat di desa, seperti menjaga kelestasrian bio-geodiversity, atau pembangunan saat ini lebih difokuskan juga kepada pembangunan yang berwawasan keragamaan ekologis.

Penataan ruang hijau di sekitar desa-desa di kawasan bandar udara dan pelabuhan Laut dapat dikaitkan juga dengan manajemen Transit Oriented Development (TOP0, yang bertujuan upaya revitalisasi kawasan hijau lama atau kawasan terpadu baru yang berlokasi pada jalur-jalur transportasi utama seperti jalur KA, misalnya dari Medan ke Aras Kabu, ataupun dari Rantau Parapat, mengantispasi kebutuhan ruang lintas busway dengan mengembangkan kawasan berfungsi campuran antara fungsi hunian yang sudah ada, perkantoran, dan komersial dengan sisipan ruang hijau di antara bangunan tersebut dapat di bangun taman publik, taman konservasi dan ekologi hijau industri.

Hal ini mengingat kawasan tersebut terdapat sejumlah pabrik PMA dan PMDN yang terus mengimpit kawasan hijau semakin terbatas dan beberapa di antaranya berada pada kawasan morfologi miring landai, memperangkap zoan limpasan air yang menimbulkan banjir di beberapa desa, mempengaruhi mobilitas transportasi publik.

Penataan ini akan mengendalikan bahaya banjir bandang. Studi kasus ini dapat dilihat di sekitar daerah Mebidang-Karo, di mana Medan sebagai pusat polarisasi daerah limpasan banjir, karena mengingat topografinya yang terendah dengan ketinggian 25 meter di permukaan air laut. Tingkat kemajuan fisik sangat cepat, mempengaruhi kondisi permukaan tanah dalam menerima limpasan air permukaan dan terbatasnya zona rehabilitasi kawasan hijau.

Zona-zona ekologi hijau di luar Medan inilah yang perlu di tata sesuai dengan tatanan geologi dan ekologinya agar dapat menjaga keseimbangan lingkungan, berfungsi sebagai zona ekolagi abadi yang berbasis geo-biodiversity, pertanian, RTH dengan mengurangi penghancuran lahan dan berganti sebagai zona wisata hijau berbasis komunitas.

Desa Hijau

Kawasan desa yang masih memiliki identitas ekologi hijaunya perlu dipertahankan sebagai kawasan konservasi dan dilindungi sebagai zona tata ruang geologi yang unik, dapat meningkatkan kemampuan kualitas udara dan air, habitat khusus bagi hewan dan tumbuhan tertentu, dan proses-proses geologi air yang membentuk daerah keanekaragaman air bawah permukaan serta peningkatan daerah resapan air untuk mengurangi aliran air hujan (run off) serta menciptakan sumber daya ekonomis sebagai identitas karakter desa hijau.

Tujuannya, agar tidak menjadi desa lumbung banjir akibat telah berubah menjadi desa kota dengan sejumlah bangunan villa mewah di berbagai kawasan perbukitan.

Penataan geologi desa dapat dilihat dari sejumlah parameter dengan titik pusat kota besar yang ada disekitarnya. Kota yang tidak memiliki densitas daerah wisata alam maka desa ada disekitarnya dapat mengembangkan pola tata ruang geologinya yang telah terbentuk tanpa merusak dan menyelaraskan, yaitu pola geologi eko wisata atau taman geologi dan biologi (Geo-bio Park), menjadikan desa wisata dengan densitas geodiversity, yang mana terdapat ciri khas proses pembentukan bumi di masa lalu, penataan ruang unik tersebut menjadikan desa hinterland sebagai pusat wisata, pembagian zonasi hijau harus dibagi sistimatik sehingga keunikan desa tidak hilang.

Contoh desa dengan ciri khas gua Karst, air terjun, jejak keunikan batuan dan fosil atau banyak ditemukan obyek wisata air panas dengan air terjun serta dengan latar belakang kabut pagi dan kelokan sungai dampak dari zona patahan, tumbuh-tumbuhan unik dengan latar belakang geomorfologi pegunungan kaldera gunungapi atau hintelrland high yang banyak ditemukan di perbatasan kota-kota besar di Indonesia seperti disekitar Mebidang Karo dengan titik pusat seperti dikawasan Danau Toba atau di wilayah Tabagsel dengan titik pusat di Danau Siais. Atau kawasan unik lainnya yang berbatas dengan wilayah Ibukota provinsi-kabupaten.

Sangat sedikit ditemukan desa yang mempertahankan karakteristiknya dengan memadukan unsur geo-ekologi sebagai pondasi membangun desa di Indonesia, di Indonesia terdapat 47 kawasan yang masuk wilayah yang menyimpan keanekaragaman biologi, geologi serta ekologi dan ini bisa bertambah jika kita melandasi pembangunan desa berbasis hijau lokal, memanfaatkan potensi alam hijau desa untuk tujuah wisata alam. Namun kenyataan saat ini, banyak desa mengalami berbagai musibah bukan saja ditimbulkan oleh man made disaster, tetapi pola keselarasan alam yang tidak seimbang.

(M. Anwar Sirait: Penulis adalah Enviromental Geologit, pemerhati masalah tata ruang lingkungan dan energi Geosfer. Kerja di Tapsel)