Sawit Rakyat dan Resolusi Agraria

Ekspansi sawit rakyat yang mencapai sedikitnya 40% lebih dari total luasan sawit nasional, adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena transisi agraria, yaitu perubahan agroekosistem menuju pada terbentuknya model agroekosistem cepat (Santoso, 2015), sebuah agroekosistem modern yang pengadaan factor produksinya (lahan, tenaga kerja dan modal) sepenuhnya ditopang oleh kekuatan pasar. Perubahan seperti ini sering kali ditandai dengan adanya ekspansi tanaman-tanaman berdaya kejut ekonomi tinggi, atau sering disebut sebagai boomcrop (Li, 2009). Dalam pandangan Hall (2009), tanaman-tanaman yang di beberapa tempat bisa dimasukkan dalam kategori boomcrop, antara lain kopi di Vietnam, Cokelat di Pantai Gading, jagung di Brazil, dan juga sawit di Indonesia (termasuk karet di Sumatera dan kopi di Jawa pada masa kolonial).

Produksi boomcrop, di mana sawit termasuk di dalamnya, akan selalu dicirikan dengan meningkatnya kebutuhan lahan yang begitu luas dalam waktu yang begitu cepat. Hal ini terjadi karena pada umumnya komoditas-komoditas boomcrop seperti sawit menjanjikan tingkat keuntungan yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat. Tidak heran kalau kemudian para pihak berlomba-lomba untuk memproduksinya, tidak terkecuali masyarakat lokal yang selama ini sudah memproduksi komoditas-komoditas konvensional seperti karet, kemiri, rotan, kopi dan lain sebagainya. Mereka tidak segan-segan mengganti model agroekosistem lamanya yang lambat menjadi model agroekosistem baru yang lebih cepat.

sawit rakyat

Tidak hanya itu, kebijakan negara pun bahkan sering disesuaikan untuk mendukung ekspansi dan produksi boomcrop. Tujuan utamanya adalah menangkap peluang keuntungan tinggi yang dijanjikan, sekaligus menjadikan boomcrop seperti sawit sebagai bagian dari mesin penghasil devisa. Bagi masyarakat lokal, partisipasi dalam produksi boomcrop bahkan bisa diterjemahkan sebagai bagian dari proses transformasi sosial dari masyarakat subsistensi menjadi masyarakat konsumsi, untuk tidak mengatakan masyarakat modern. Atas dasar itulah mengapa sawit dipandang tidak sekedar menjanjikan peningkatan ekonomi, akan tetapi juga peningkatan status sosial.

Sayangnya, fenomena sebagaimana yang sudah dibahas di muka tidak didukung oleh ketersediaan lahan yang memadai, khususnya bagi kalangan masyarakat lokal. Berbagai kasus yang dibahas dalam laporan ini menunjukkan bahwa rata-rata akses masyarakat lokal terhadap lahan untuk produksi sawit sangat terbatas. Lahan-lahan yang ada di dalam Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK, atau sering juga disebut dengan Areal Penggunaan Lain/ APL), sebuah kawasan yang bisa dengan leluasa dimanfaatkan untuk proses produksi, pada umumnya sudah dikuasai oleh kalangan swasta melalui skema Hak Guna Usaha (HGU). Lahan-lahan di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK atau sering disebut sebagai kawasan hutan) memang masih sangat luas, akan tetapi penggunaannya amat sangat terbatas. Itulah mengapa kemudian muncul situasi dilematis, seperti fenomena penguasaan lahan secara ekstra legal: tindakan illegal yang dilakukan secara terbuka dan bersama-sama.

Sebagaimana yang kita ketahui, rata-rata wilayah desa di Kalimantan dan Sumatera (dua pulau yang menjadi sentra produksi sawit nasional) didominasi oleh kawasan hutan, areal yang tidak bisa dengan leluasa diakses masyarakat untuk produksi komoditas-komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi seperti sawit. Bahkan dalam pandangan kebijakan kehutanan nasional, sawit diposisikan sebagai jenis tanaman yang tidak ramah hutan dan lingkungan, oleh karenanya tertutup untuk diproduksi di dalam kawasan hutan, sekalipun sudah dalam bentuk kebun campur, sebagaiamana yang kini mulai banyak dikembangkan masyarakat di berbagai tempat, seperti di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Bahkan skema Perhutanan Sosial pun tidak memberi ruang kepada model-model agroekosistem kebun campur (wanatani) sawit. Mengacu pada P 83/ 2016 tentang Perhutanan Sosial, sawit hanya diberi ruang selama 12 tahun sejak masa tanam, setelahnya harus dibongkar dan diganti dengan tanaman lain.

Penataan kebun-kebun sawit rakyat dalam rangka mencapai pengelolaan sawit berkelanjutan, dengan demikian tidak bisa dilepaskan dari upaya penyelesaian problema agraria yang kini mewarnai hampir sebagian besar kebun-kebun sawit rakyat yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara. Tidak ada data yang secara rinci bisa menyebutkan berapa luasnya dan di mana, akan tetapi mengacu pada informasi yang dikeluarkan Kemenko Perekonomian, sedikitnya 3,6 juta hektar produksi sawit nasional (termasuk di dalamnya sawit rakyat) dilakukan di dalam kawasan hutan, dan oleh karenanya memerlukan skema-skema resolusi agraria. Tanpa itu, maka upaya mendorong perbaikan tata kelola sawit nasional tidak akan bisa terselenggara, sekalipun pemerintah mencoba melakukan pengarusutamaan dengan membangun skema ISPO baru (skema sertifikasi untuk pengelolaan sawit berkelanjutan). Dengan cara inilah negara hadir untuk mewujudkan amanat konstitusi, bahwa sumber-sumber agrarian yang menguasai hajat hidup orang banyak dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Hery Santoso)