Sertifikat Kayu Halal Dibatalkan: Mau Dibawa Kemana Industri Kehutanan Kita

Beberapa hari ini pemberitaan SVLK sebagai sertifikat kayu halal akan dihapuskan oleh Bapak Presiden atas permintaan salah satu Asosiasi.

Para penggiat lingkungan dan kehutanan menentang hal tersebut karena dipandang akan mencederai sistem yang dibangun bersama dan tidak mendukung perbaikan tata kelola kehutanan.

Oleh sebab itu perlu kita dudukan permasalahan ini dengan melihat seluruh aspek secara komprehensif. Tulisan ini sedikit menjelaskan tentang apa itu SVLK dan posisinya untuk menjadi bahan pertimbangan mau dibawa industri kehutanan saat ini.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan suatu sistem yang dibangun oleh multistakeholders (Pemerintah, LSM, Asosiasi dan lain-lain) untuk menverifikasi aspek legalitas atau kepatuhan terhadap hukum dari pelaku usaha.

SVLK ini berlaku bagi IUPHHK Hutan Alam (d/h HPH), IUPHHK Hutan Tanaman Industri (d/h HTI), Industri kehutanan (Primer, IUI Lanjutan, TDI ,Industri Kecil Menengah dan Pengrajin) dan Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan Non Produsen.

Standar yang terdapat didalam SVLK berisi tentang kewajiban-kewajiban berdasarkan peraturan dan keterlacakan produk hingga bahan baku, jadi tidak ada sesuatu yang diluar peraturan.

Salah satu tujuan dari dibangunnya SVLK adalah menertibkan pelaku usaha yang tidak mematuhi peraturan seperti industri yang tidak memiliki izin industri atau tidak sesuai produk dengan izin.

Juga yang idak memiliki izin lingkungan, memperkerjakan anak dibawah umur, menggunakan kayu illegal dan pelanggaran terhadap izin lainnya. SVLK dibuat oleh multistakholders sejak tahun 2003 dan menjadi Peraturan sejak tahun 2009.

Bagi industri besar, pemenuhan SVLK ini bukan menjadi masalah besar karena memiliki dana yang cukup untuk memenuhi standar SVLK dan biaya sertifikasi namun hal tersebut tidak berlaku bagi IKM dan pengrajin yang memiliki dana terbatas.

Terkait pendanaan didalam SVLK terdapat dua hal yaitu biaya untuk sertifikasi dan biaya untuk pengurusan izin. Terkait biaya sertifikasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Lembaga donor telah menyiapkan dana untuk sertifikasi dan penilikan pertama sehingga biaya sertifikasi.

Permasalahan terbesar adalah buruknya birokrasi pada Pemerintah Daerah, dimana sepertinya hukum ekonomi berlaku yaitu semakin banyak permintaan maka ‘harga’ akan meningkat.

Maksud dari kalimat tersebut adalah biaya pengurusan izin menjadi ‘hal’ yang seharusnya gratis. ‘hal’ bukan oleh pungutan pemerintah namun oleh oknum yang ‘menghargai’ jasa pemberian izin.

IKM dan Pengrajin memang dapat bebas biaya sertifikasi namun untuk membuat izin industri, izin lingkungan, SIUP,TDP dan lain-lain membutuhkan biaya yang cukup tinggi bahkan jauh melebihi biaya sertifikasinya.

Hal ini yang dikeluhkan oleh para IKM dan Pengrajin dari AMKRI sehingga pada akhirnya seperti tidak mendukung SVLK.

Salah satu program Presiden Bapak Joko Widodo adalah Reformasi Birokrasi. Salah satu indikator keberhasilan Reformasi Birokrasi adalah seluruh masyarakat baik itu pengusaha maupun masyarakat biasa memperoleh akses terhadap pelayanan publik dengan mudah dan murah sesuai prosedur.

Adanya kewajiban SVLK ini, akan menguji sejauh mana reformasi birokrasi berjalan. Keluhan mengenai mahalnya biaya pengurusan izin adalah bukti lemahnya atau bahkan buruknya reformasi birokrasi di Daerah.

Izin menjadi mahal karena menjadi objek untuk pemerasan terhadap pelaku usaha. Jadi jika Presiden Bapak Joko Widodo ingin menghapus SVLK sama saja membiarkan â ‘praktek’ penyimpangan perizinan terjadi di Daerah.

Ketika berbicara suatu sistem sertifikasi ataupun verifikasi maka keberterimaan dari publik yang menjadi salah satu indicatornya.

Pada tanggal 30 September 2014, setelah melalui proses panjang akhirnya Pemerintah Indonesia menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan Uni Eropa dimana salah satunya mengakui SVLK dalam kerangka EU Timber Regulation serta Dokumen V-Legal sebagai dokumen FLEGT License.

VPA tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Perpres Nomor 21 Tahun 2014. Dengan demikian, produk kehutanan Indonesia dapat masuk ke 28 negara Uni Eropa tanpa melalui Due Diligience System (Uji Kepatuhan). Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara didunia yang sistemnya diakui oleh Uni Eropa.

Didalam perjanjian VPA tersebut terdapat persyaratan dan ruang lingkup produk salah satunya adalah furniture. Jika salah satu asosiasi ingin tidak diwajibkan SVLK maka konsekwensinya akan dikeluarkan dari lingkup produk pada perjanjian tersebut dan ke tika akan masuk ke Uni Eropa harus melalui Due Diligience yang membutuhkan lebih dari 20 langkah kerja untuk memprosesnya.

Tidak hanya Uni Eropa, pada akhir tahun 2014 juga Australia telah mengakui SVLK sehingga jika produk kehutanan akan di Ekspor ke Australia memperoleh Green line. Beberapa pembeli telah mensyaratkan SVLK sebagai syarat pembelian. Jadi pilih ber-SVLK atau tidak?

Terkait berita yang menyebutkan Presiden Bapak Joko Widodo akan meniadakan SVLK mari kita merenung atas dasar penjelasan pada paragraph sebelumnya, maka akan timbul pertanyaan apakah ingin mendorong reformasi birokrasi?

Apakah ingin meningkatkan daya dukung produk Indonesia? apakah ingin mempermudah eksportir kita menembus pasar internasional? apakah ingin kita menjadi bangsa yang berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola kehutanan.

Jika jawabannya Ya mari kita jaga sistem ini dengan baik dengan mempermudah pelayanan perizinan di daerah dan terus membantu IKM dan pengrajin memperoleh SVLK. Jika jawabannya tidak, mau dibawa Industri Kehutanan di Indonesia.

Sumber : Opini Detik Dot Com