Silvopreneur dalam Usaha Perhutanan Sosial

Kewirausahaan dalam perhutanan sosial diperlukan untuk menumbuhkembangkan unit-unit usaha produktif berbasis hasil hutan, baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bikan kayu. Jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dalam perhutanan sosial penting untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan, baik yang dilakukan secara induvidual petani hutan maupun secara entitas kelompok usaha perhutanan sosial.

Penulis menggunakan istilah “Silvopreneur” untuk menjelaskan kewirausahaan kehutanan tersebut. Silvopreneur atau wirausaha kehutanan adalah seseorang memiliki kharakter tangguh, kreatif, dan inovatif yang menjalankan bisnis kehutanan. Silvopreneur mampu menangkap peluang pasar dan kemudian mengembangkan bisnis kehutanan yang adaptif dengan sumberdaya yang dimiliki.

Menjalankan bisnis memang tidak mudah. Seorang yang berkemauan untuk menjalankan bisnis perlu mempertimbangkan banyak hal agar resiko suatu bisnis dapat diminimalkan untuk tidak terjadi. Untuk memulai sebuah bisnis berbasis hasil hutan, seseorang atau entitas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial perlu terlebih dahulu melakukan pendekatan pasar terhadap komoditi-komoditi unggulan yang potensial untuk dikembangkan.

Pendekatan pasar (market access approach) merupakan salah satu metode untuk melihat kecenderungan permintaan pasar dan peluang pengembangan suatu komoditi dalam analisa rantai pasok komoditi. Hal ini karena dalam dunia usaha yang penting adalah arus finansial yang berkelanjutan atas penjualan suatu produk yang dihasilkan dan jaminan keberterimaan pasar terhadap suatu produk.

Seringkali seseorang atau entitas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial memulai bisnis dari aspek hulu yaitu aspek produksi dari mulai memproduksi suatu bahan olahan sampai dengan pengemasaan produk. Ini justru berpotensi untuk mengalami kesulitan penjualan, karena aspek hilir tidak dikenali terlebih dahulu. Padahal, potensi sumberdaya hasil hutan dalam perhutanan sosial cukup beragam untuk dipilih salah satunya sebagai komoditi unggulan.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023) menyebutkan bahwa saat ini terdapat 1.194.142 penerima surat keputusan perhutanan sosial, 10.097 kelompok usaha perhutanan sosial, dan 5.522.165 hektar luas perhutanan sosial. Artinya bahwa potensi komoditi hasil hutan yang dapat dikembangkan sangat besar. Di sini juga memiliki potensi untuk menumbuhkan dan mengembangkan Silvopreneur sangat besar.

Potensi yang cukup besar tersebut dapat dikelola dan dikembangkan menjadi industri kehutanan masyarakat. Yaitu, unit pengolahan hasil hutan berbasis pada komunitas yang memproduksi komoditas hasil hutan dengan meningkatkan nilai tambah. Proses produksi yang dilakukan dapat melibatkan para pemangku kepentingan yang mendukung upaya-upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Kerjasama kemitraan dengan pelaku bisnis yang telah ada dalam konteks rantai pasok komoditi yang bersangkutan merupakan peluang yang dapat diambil. Silvopreneur perlu membangun jaringan akses sumberdaya dengan pelaku-pelaku bisnis yang telah ada, bukan menempatkan pelaku bisnis yang telah ada sebagai kompetitor.

Untuk memperkuat jaringan pemasaran, kelompok usaha perhutanan sosial dapat juga membentuk koperasi produsen. Koperasi ditempatkan sebagai off-taker, sementara KUPS ditempatkan sebagai penyedia produk hasil hutan.

Pola seperti itu dapat dilihat dalam model bisnis yang dilakukan oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari dan KUPS-KUPS yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Jaringan kerjasama saling menguntungkan dan berkeadilan dalam perdagangan komoditi hasil hutan itu, baik bahan mentah ataupun setengah jati, menjadi sebuah jaminan arus rantai pasok yang berkelanjutan. Dengan demikian, bisnis kehutanan masyarakat juga dapat berlangsung secara terus menerus. Tentunya, kelompok perhutanan sosial tetap mengelola sumberdaya hutan secara berkelenjutan dalam aspek produksi, sosial, dan ekologi. (Exwan Novianto)