Jika kemudian kondisi seperti ini terus diabaikan oleh pemerintah, maka kita tak akan mampu menghindari krisis pangan akan melanda negeri agraris.(*)
Deagrarianisasi Perdesaan Terjadi Karena Lahan yang Semakin Sempit
|Persoalan keterbatasan lahan pertanian pun juga menyebabkan pesatnya laju urbanisasi terjadi di perdesaan, hal ini disebabkan oleh rendahnya kepemilikan lahan dan produktifitas yang berujung pada tergerusnya kesejahteraan petani.
Selama periode 2003 sampai 2016 ada lima juta petani yang tercerabut dari lahan taninya. Mereka tidak punya pilihan selain migrasi ke kota-kota besar.
Kondisi ini digambarkan oleh Gerry Van Klinken, peneliti dari Belanda sebagai bentuk deagrarianisasi atau suatu bentuk hilangnya ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap pertanian dan memilih bergantung terhadap birokrasi negara di perkotaan, jalan itu terpaksa diambil oleh masyarakat perdesaan guna mengamankan pendapatan ekonomi mereka.

Dari sekitar lima juta petani yang pindah ke perkotaan, awalnya rata-rata mengusahakan lahan 1.000 meter, sementara dari lahan tanam 1.000 meter, petani padi hanya dapat memperoleh maksimal 2,5 ton sekali panen. Itupun masih bisa jadi masalah karena infrastruktur pendukung pengolahan pascapanen masih terbatas.
Alhasil, laju deagrarianisasi penduduk desa di penjuru Indonesia mencapai 4 persen per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada 2025, 65 persen penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diperkirakan akan mencapai 85 persen pada 2050.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani di desa dengan akses lahan yang terbatas dan menghambat laju deagrarianisasi, salah satu upaya yang bisa dilakukan sementara adalah melalui klasterisasi usaha. Artinya, usaha tani dikelompokkan berdasarkan produk tani yang dihasilkan.