Perhutanan Sosial Indonesia, Kritik Bagi Pemimpin

Dunia telah kehilangan spiritnya ketika paradigma pembangu- nan sumber daya alam hutan dilaksanakan dengan cara memisah- kan hutan dengan masyarakat. Sejatinya, hutan dan manusia/ masyarakat/rakyat tidak dapat dipisahkan.

Pada Maret 2018 untuk pertama kali diketahui angka kemiskinan di Indonesia turun menjadi di bawah dua digit, yakni 9,82 persen dari total penduduk Indonesia (pada 2017 sebesar 10,12 persen), dengan sebaran kemiskinan perkotaan 7,02 persen dan perdesaan 13,2 persen. Situasi ini harus diapresiasi oleh seluruh anak bangsa. Angka ini menunjukkan kemiskinan perkotaan berhasil ditekan dan dikurangi dengan baik oleh program-program pemerintah dan inisiatif rakyat perkotaan.

Memanen Jagung
Presiden Joko Widodo ikut memanen jagung di lahan progam perhutanan sosial di Desa Ngimbang, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/3). Di tempat ini Presiden membagikan 13 surat keputusan peserta program perhutanan sosial untuk Kabupaten Bojonegoro, Blitar, dan Malang seluas 8.975,8 hektar (ha) bagi 9.133 keluarga. (Foto Kompas/Andy Riza Hidayat (NDY) 09-03-2018)

Situasi di perdesaan tentu saja belum menggembirakan karena angka kemiskinan masih dua digit. Kemiskinan di perdesaan di Sumatera sebesar 11,66 persen, Kalimantan 7,6 persen, Sulawesi 13,68 persen, Maluku-Papua 29,15 persen, Jawa 12,8 persen, Bali-Nusa Tenggara 17,8 persen (BPS, 2018). Hampir 70 persen penduduk Indonesia ada di perdesaan. Tugas berat menghilangkan kemiskinan ada di perdesaan.

Berdasarkan pendekatan ukuran rasio Gini dari tingkat pengeluaran penduduk Indonesia, saat ini angka rasio Gini adalah 0,389, yang artinya ketimpangan di Indonesia masih memprihatinkan dan perlu diperbaiki. Caranya, salah satu yang terpenting adalah dengan membuka peluang kerja dan peluang berusaha di tingkat perdesaan.

Lahan Hutan dan Anti Kemiskinan

Inti pembangunan perdesaan adalah pembangunan dengan cara meningkatkan produksi dan produktivitas lahan yang dikuasai petani, dan dengan cara tersebut maka pendapatan petani akan meningkat, pengeluaran penduduk akan semakin baik dan kemiskinan perdesaan akan semakin kecil. Unsur terpenting di tingkat petani adalah penguasaan atas lahan untuk usaha tani yang ramah lingkungan.

Kebijakan pemerintah saat ini adalah membangun ekonomi rakyat perdesaan. Salah satunya melalui program reforma agraria seluas 9 juta ha di mana 4,1 juta ha berasal dari lahan hutan  yang tidak produktif akan diserahkan kepada petani di perdesaan dan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha yang menyebar di perdesaan di 26 provinsi.

peta perhutanan sosial

Kawasan hutan yang menjadi obyek program reforma agraria memang sudah tak berhutan dan sudah sebagian besar diusahakan oleh rakyat. Areal perhutanan sosial yang berasal dari areal kawasan hutan yang tak produktif akan dijadikan lebih produktif lagi oleh sekumpulan masyarakat penerima izin perhutanan sosial.

Kiranya kurang tepat tulisan saudara Mohamad Adib (17/7/2018) yang mengatakan perhutanan sosial merupakan legalisasi deforestasi. Sesungguhnya yang benar  adalah kawasan hutan di Jawa dan Luar Jawa yang tak produktif akan ditanami ulang oleh masyarakat pemegang izin 35 tahun sehingga kawasan hutan tersebut menjadi lebih produktif, menghasilkan, memperbaiki lingkungan, pendapatan petani sekitar hutan meningkat dan kelembagaan petani menjadi kuat.

Program pemerintah tentang reforma agraria dan perhutanan sosial merupakan program koreksi yang progresif bagi kepentingan rakyat petani di Indonesia. Ada empat target yang ingin dicapai oleh kedua program: (1) pemerataan kepemilikan tanah melalui reforma agraria ; (2) pemerataan dan perluasan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat melalui perhutanan sosial; (3) memperbaiki tata lingkungan; dan (4) pengurangan kemiskinan di perdesaan.

menanti surat ijin
Warga Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, meniti surat keputusan izin pengelolaan hutan yang diserahkan pemerintah di desa setempat, Sabtu (4/11). Program perhutanan sosial diharapkan meningkatkan kesejahteraan warga penggarap kawasan hutan milik negara. (Foto Kompas/Mukhamad Kurniawan)

Program reforma agraria seluas 4,1 juta dari lahan hutan memastikan lahan akan menjadi hak milik petani, dan program perhutanan sosial dilaksanakan dengan skema perizinan 35 tahun, bukan program sertifikasi lahan seperti ditulis Mohamad Adib. Secara sosiologis program perhutanan sosial sangat menyentuh kepentingan, pemerataan dan keadilan bagi petani perdesaam yang sedikit dan tidak memiliki lahan.

Petani dan Perhutanan Sosial

“Mas Parno petani perhutanan sosial yang sudah mendapat izin 35 tahun di Pemalang Jawa tengah merasa terharu dan tidak percaya akan memperoleh izin pemanfaatan lahan hutan seluas lebih dari 1,5 ha dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”.

Demikian pula halnya, “Pak Usuf, petani perhutanan sosial di Kabupaten Batanghari Jambi, kelompok koperasinya mendapat izin 3.200 ha hutan tanaman rakyat… berterima kasih amat sangat pada pemerintah karena diizinkan memanfaatkan, menanam tanaman hutan dan buah buahan”.

Parno dan Usup adalah gambaran dua rakyat petani Indonesia yang bangga dengan program perhutanan sosial.

Presiden Joko Widodo melihat produk olahan program perhutanan sosial di hutan jati Desa Dungus, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Senin (6/11). Presiden memberikan dua sepeda kepada dua petani yang beruntung ditunjuk untuk maju dan memenuhi permintaan Presiden melantangkan Pancasila. (Foto Kompas/Ambrosius Harto)

Sampai Juli 2018 capaian  izin program perhutanan sosial seluruh Indonesia seluas 1,73 juta ha, melibatkan 384.753 keluarga tani. Pemberian izin perhutanan sosial di Jawa rata-rata sekitar 1,2 ha dan di luar Jawa rata-rata 3 ha. Berbasis pada data ini, maka ada tambahan lahan bagi petani untuk melakukan kegiatan usahatani agroforestry di Jawa 1,0-1,5 ha setiap petani. Pendapatan petani sangat ditentukan oleh berapa luas lahan pertanian yang mereka miliki atau yang dapat mereka manfaatkan.

Program perhutanan sosial berdampak pada petani semakin percaya diri menjadi petani dan semakin bersemangat melaksanakan kegiatan produktif berbasis lahan. Semula petani di Jawa hanya memiliki lahan pertanian rata rata 0,3-0,5 ha per keluarga dan setelah adanya izin dari program perhutanan sosial lahan yang dapat dikerjakan petani meningkat menjadi 1-1,5 ha per keluarga.

kawasan kphp batulanteh
Selain memiliki kopi, madu, dan kemiri sebagai komoditas unggulan dari pertanian, kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat kini dikembangkan menjadi destinasi ekowisata. Salah satunya pemandangan alam dengan lanskap Gunung Tambora dan Pulau Moyo di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, di Desa Batudulang, Batulanteh. Tempat ini saat ini dikembangkan menjadi tempat swafoto seperti yang terlihat pada Selasa (18/7/2017). (Foto Kompas/Sonya Hellen Sinombor)

Rata-rata angka kemiskinan perdesaan di Sumatera, Jawa, Maluku dan Papua, Bali-Nusa Tenggara, Sulawesi, berada di atas 11 persen dari jumlah penduduk masing-masing pulau. Perizinan 35 tahun program perhutanan sosial secara nyata telah memberikan tambahan luas areal lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha kehutanan dan usaha pertanian, perkebunan, buah-buahan dan tanaman semusim palawija.

Melalui program Hutan Tanaman Rakyat sebagian bagian dari perhutanan sosial, jika lahan hutan ditanam pohon sengon maka akan menghasilkan paling sedikit Rp 200 juta per enam tahun atau sekitar Rp 3-4 juta perbulan setelah ditambah hasil palawija dan buah-buahan. Jika lahan hutan ditanami jati Malabar maka akan menghasilkan minimal sekitar Rp 500 juta per delapan tahun atau sekitar Rp 6-8 juta per bulan setelah ditambah dengan hasil palawija dan buah buahan.

petani kemiri
Kemiri menjadi salah komoditas andalan masyarakat yang tinggal di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Tampak beberapa ibu di Desa Batudulang, Kecamatan Batulanteh, Selasa (18/7) memecahkan buah kemiri sebelum bijinya dijual ke pasar. Harga biji kemiri ditingkat petani sekitar 5.000 per kilogram. (Foto Kompas/Sonya Hellen Sinombor (SON) 18-07-2017)

Dengan perhitungan sederhana saja kita sudah akan tau bahwa penghasilan petani program perhutanan sosial memiliki potensi meningkatkan penghasilan, meningkatkan daya beli masyarakat, ketimpangan yang diukur dengan rasio Gini mengecil. Dengan penghasilan masyarakat petani perhutanan sosial sekitar Rp 4-8 juta/kepala keluarga/bulan, sudah dapat dipastikan masyarakat perdesaan akan terentaskan dari kemiskinan. Pada saat yang sama tanah hutan yang tidak produktif akan tertanami pohon-pohon kayu dan buah-buahan yang lebih produktif dari situasi sebelumnya.

Analisis perhutanan sosial di atas memberikan keyakinan pada kita bahwa tidak benar perhutanan sosial melegalisasi deforestasi di Jawa dan luar Jawa, karena tidak ada hubungannya. Justru analisis menunjukkan bahwa program perhutanan sosial membuat lahan hutan lebih produktif karena hutan ditanami oleh rakyat petani pemegang izin perhutanan sosial 35 tahun.

launching bibit
Sebelum acara Launching Pendistribusian1,5 juta bibit pohon dan 20 ribu bibit pohon langka di kebun Paguyuban Budiasi, Desa Kadumanggu, Sentul, Bogor, Minggu (23/11), Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Hilman Nugroho (kanan) dan Guru Besar Ekonomi Sri Edi Swasono mendapat penjelasan dari salah satu Pendiri Paguyuban Budiasi Doni Munardo yang saat ini menjabat Danjen Kopassus, mengenai bibit pohon yang di tanam di lahan tersebut. (Foto Kompas/Alif Ichwan (AIC))

Angka kemiskinan di perdesaan akan sangat berkurang sampai angka 5 persen saja. Ini prediksi yang harus diwujudkan bersama. Di Jawa, jika areal potensial perhutanan sosial seluas 1,2 juta ha ditanami dengan jati Malabar yang produktif  maka akan menghasilkan sebesar Rp 500 juta per ha setiap delapan tahun atau 600 triliun. Rakyat petani pasti sejahtera dan lingkungan akan lebih baik karena tak ada lagi tanah kosong karena partisipasi petani. Selama ini hutan di Jawa dikelola BUMN yang menghasilkan tanah kosong dan tidak produktif lebih dari 50 persen. Sungguh negara telah dirugikan dengan terang benderang.

Penulis *SAN AFRI AWANG, GURU BESAR PERHUTANAN SOSIAL UNIVERSITAS GADJAH MADA
Kompas, 21 Juli 2018