Jalan Panjang Menghutankan Lahan Berbatu

Hutan Negara yang dijadikan area Hutan Kemasyarakatan di Desa Ngepohsari dan Candirejo, Semanu, Gunungkidul itu sebagian besar berisi batu-batu cadas. Dahulu, masyarakat butuh waktu berbulan-bulan untuk mengolah lahan ini sebelum bisa ditanami. “Namanya juga terpaksa keadaan. Kami mau mengelola tanah berbatu ini karena lahan milik kami terlalu sempit untuk ditanami tanaman pangan. Penduduk di sini butuh tambahan lahan untuk ditanami jagung, ketela, padi, dan kedelai. Waktu pertama mengolah hutan negara, petani-petani di sini harus membuat teras. Rata-rata per KK butuh waktu mencangkul satu sampai dua bulan. Baru kemudian dibersihkan dari seresah-seresah. Kebanyakan dilakukan dengan gotong-royong. Sekitar setengah tahun kemudian baru lahannya bisa ditanami bibit,” tutur Tambiyo, ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Sedyo Makmur. Ia yang mengerjakan Hutan Negara sejak tahun 1995 menambahkan jika bebatuan di tanah tadi baru selesai dibersihkan setelah dua tahun.

Bagi sebagian masyarakat desa Ngepohsari dan Candirejo, hutan menjadi sumber mata pencaharian. “Sebelum ada HKM, petani menggarap tanah negara dengan sistem kontrak 2 tahunan saat ada program reboisasi. Kami tidak dibayar untuk menanami hutan. Sebagai gantinya, kami bisa melakukan tumpangsari. Biasanya tanaman hutan kayu bisa tumbuh bagus tapi setelah kami harus keluar dari hutan, lahan tadi tidak terurus. Banyak tanaman kayu mati,” tutur Tambiyo.

Tambiyo dan kebanyakan tetangganya bermatapencaharian utama sebagai petani. Mereka memilih pekerjaan ini karena kebanyakan warga hanya lulusan SMP yang tidak memiliki keahlian lain. “Saya mulai berpetani sejak 1983. Dulu, saat lulus SMP saya diterima jadi PNS. Karena ditugaskan jauh di Palembang, orangtua tidak memperbolehkan. Saya sempat putus asa. Karena di rumah tidak ada kerjaan lain, saya kemudian mencoba menjadi petani dan tukang kayu,” tutur Tambiyo, ketua KTH Sedyo Makmur. Ia merupakan satu diantara 20% warga Jlagrum yang tidak memiliki tanah sendiri sehingga membutuhkan  lahan negara untuk diolah.

Tahun 1995, Tambiyo dan rekan-rekannya melakukan penanaman jati sebagai tanaman pokok dan palawija sebagai tanaman sela. Mereka juga menanam johar, flamboyan dan sonokeling sebagai tanaman pelidung.  “Bibit jatinya kami dapat lewat gotong-royong pengumpulan bibit. Tiap KK mengerjakan lahan garapan sekitar 0,1 sampai 1,5 hektar, tergantung kemampuannya. Sebenarnya ada banyak penduduk lain yang ingin menggarap hutan. Sayang, lahan hutannya terbatas,” ujar bapak dua anak ini.

Secara resmi, pengelolaan HKm DIY dimulai sejak keluarnya izin pengelolaan tetap pada tahun 2007. Masyarakat bisa mengerjakan lahan hutan selama 35 tahun. Tapi, di beberapa wilayah, masyarakat mulai melakukan penanaman sejak tahun 1995. Disusul dengan penambahan wilayah penanaman pada tahun 1999, dan sebagian besar pada tahun 2003. Kini di KTH Sedyo Makmur terdapat 254 KK yang mengelola lahan seluas 115 hektar.

Meskipun sudah mendapatkan ijin pengelolaan, bukan berarti petani-petani hutan ini bebas mengelola hutan. Saat ini, ada beberapa area yang seharusnya sudah melakukan penjarangan tanaman kayu. Hal tersebut belum terlaksana karena terganjal perijinan. “Menurut pemikiran dinas, kayu-kayu hasil penjarangan bisa dijadikan perabot rumah, jadi itu masuk penghasilan. Jadi kami harus mengurus IUPHHK (Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu). Bulan Maret 2010, kami pernah mengajukan ijinnya. Dan ditolak dengan alasan kurang dokumen SVLK dan tenaga teknis. Tahun 2011, kami mengajukan lagi yang sampai saat ini belum ada jawaban,” keluh Tambiyo. Ia menambahkan jika ijin penjarangan tidak turun, pohon akan susah berkembang karena jaraknya terlalu rapat.

Add a Comment