Sengon di Hutan Negara

Tahun 1999 lalu, Hutan Negara di Desa Glandang, Kecamatan Bantar Bolang, Pemalang dijarah. Penebangan liar yang berlangsung hingga tahun 2001 tersebut membuat sekitar 500 hektar dari keseluruhan hutan yang luasnya 702,1 hektar habis. Waktu itu masyarakat tidak mengambil tindakan apapun saat hutan ditebang habis karena mereka tidak merasa memiliki.

“Dulu, akses masyarakat untuk ke hutan sulit. Hutan itu dikelola langsung oleh perhutani. Masyarakat cuma dikumpulkan saat perhutani melakukan tebangan dan boleh menanam selama dua tahun. Waktu hutan habis dijarah, masyarakat yang tinggal di dekatnya kena imbasnya. Udara jadi panas dan sering ada angin kencang,” tutur Sri Budi Priyanto.

Tahun 2004, Pusat Kajian Hutan Rakyat dari Universitas Gadjah Mada datang membawa hasil kajiannya. Lembaga ini kemudian memfasilitasi kerjasama antara Perhutani dengan pengelola hutan negara dengan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Para pengelola hutan yang terpilih menjadi pengurus kemudian belajar membuat struktur, melakukan pelatihan-pelatihan manajemen, juga membuat AD/ART.

“Waktu itu, Perhutani menargetkan akan membuat Perhutani Hijau pada tahun 2010. Kalau hutan yang gundul saja ada sekitar 500 hektar, berarti tiap tahun harus ada sekitar 100 hektar yang tertanami. Padahal dana dari Perhutani terbatas. Masyarakat kemudian mengusulkan penanaman sengon yang daurnya lebih pendek dan biaya yang dikeluarkan juga lebih sedikit,” tambah Budi. Ia juga mengatakan setelah negosiasi panjang, akhirnya Perhutani memberikan ijin pada masyarakat untuk menanami hutan produksi yang seharusnya untuk jati dengan tanaman sengon.

“Masyarakat menyambut gembira karena memperoleh ijin mengelola hutan. Selama ini, masyarakat yang kehidupannya dari bertani tidak bisa memenehi kebutuhannya karena rata-rata kepemilikan lahan yang hanya 600 hingga 800 meter persegi. Naiknya pendapatan masyarakat bisa dilihat dari beerapa hal. Dulu tahun 2004, anak lulus SMA bisa dihitung dengan jari. Sekarang ada banyak. Lalu masyarakat juga bisa membeli motor,” kata Budi.

Nego masyarakat tidak berakhir di situ. Mereka juga meminta supaya ada investor. PKHR kemudian berinvestasi di lahan seluas 10 hektar dan disusul dengan jaringan Hotel Accord berinvestasi di tanah seluas 43,2 ha. Nanti, apabila ada penjarangan, hasil penjualan kayu akan dibagi 40% untuk Perhutani, 30 % untuk masyarakat.

Sayangnya, kerjasama antara Perhutani dan LMDH terkendala dengan terlalu cepatnya rotasi pejabat perhutani. Para pengurus LMDH sering mengeluhkan jika saat mereka sudah merencanakan sebuah program dengan pegawai perhutani, program tadi belum sempat terealisasi karena pegawai perhutani sudah dipindah. Pengurus LMDH terpaksa beradaptasi lagi dengan pegawai baru dan memulai dari awal lagi.

Add a Comment