Pendampingan Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Dinamikanya

Proyek yang bertitel “Mengembangkan Usaha-usaha Ramah Lingkungan Berbasis Potensi Lokal di Kawasan Timur Kabupaten Berau” dan diimplementasikan oleh Konsorsium Javlec Indonesia yang beranggotakan 6 (enam) lembaga, meliputi Yayasan Javlec Indonesia (lead organization), PENJALIN (Perkumpulan Jemari Alam Indonesia), YPAB (Yayasan Pendidikan Anak Bangsa), JALA (Jaringan Nelayan), Kelompok Kerja (Pokja) REDD dan PT Energi Biru.

Lokasi sasaran proyek difokuskan pada 4 (empat) desa/kampung di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi Tanjung Batu dan Teluk Semanting (Kecamatan Pulau Derawan) serta Teluk Alulu dan Bohebukut/Teluk Harapan (Kecamatan Maratua).

Secara umum, proyek yang diajukan Konsorsium Javlec Indonesia ini bertujuan meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan berkelanjutan bentang alam dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca melalui pengembangan usaha-usaha ramah lingkungan berbasis potensi lokal. Adapun hasil (outcomes) yang diharapkan melalui proyek ini meliputi :

  1. Meningkatnya industri kreatif ramah lingkungan berbasis potensi lokal,
  2. Berkembangnya usaha ekowisata berbasis masyarakat, dan
  3. Meningkatnya pemanfaatan energi terbarukan sekala kecil.

Hasil-hasil tersebut akan dicapai melalui pengembangan fasilitas pengawetan ikan melalui skema energi terbarukan, industri minyak kelapa berbasis home-industry, pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk olahan hasil laut dan ekowisata mangrove.

BUMK (Badan Usaha Milik Kampung)

Proyek ini meyakini pentingnya sebuah lebaga usaha ekonomi yang tangguh di tingkat desa untuk menaungi unit-unit usaha komunitas yang dibangun atas dasar potensi lokal. Untuk itu dalam kegiatan proyek ini, penguatan kelembagaan Badan Usah Milik Kampung (BUMK) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan usaha-usaha ekonomi yang telah dirintis dalam proyek ini.

Selain itu bagi mayoritas desa-desa di Kalimantan Timur, BUMK merupakan sebuah hal yang baru meskipun secara yurisdiksi telah dipayungi dengan peraturan menteri mulai tahun 2015. Untuk itu tim manajemen proyek melihat, pentingnya penguatan kelembagaan BUMK selaku badan usaha milik desa agar keberlanjutan unit-unit usaha yang telah dirintis oleh proyek ini nantinya difasilitasi dengan anggaran desa hingga menjadi lembaga yang mandiri ditingkat desa.

Kegiatan pelatihan BUMK ini diharapkan menjadi wahana pencerahan bagi perangkat desa maupun pengurus BUMK agar lebih memahami hak, kewajiban, tugas dan wewenang BUMK baik terhadap pemerintah desa maupun kepada masyarakat desa.

Pelatihan ini dilaksanakan selama 3 hari dengan peserta dari empat kampung dampingan yaitu kampung Tanjung Batu dan Teluk Semanting Kecamatan Pulau Derawan serta kampung Teluk Harapan dan Teluk Alulu Kecamatan Maratua. Namun dari keempat kampung tersebut, tiga yang berjalan yakni Tanjung Batu, Teluk Semanting dan Teluk Alulu.

Pelatihan Mangrove

Mangrove mempunyai fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Sumberdaya mangrove adalah semua jenis pohon, vegetasi termasuk semak belukar yang tumbuh di habitat mangrove, jenis biota yang berasosiasi, serta proses yang berperan penting dalam menjaga keberadaan ekosistem mangrove, seperti erosi dan sedimentasi (Saenger et al., 1983).

Dalam ekosistem pesisir dan laut, hutan mangrove memiliki arti penting karena mempunyai fungsi ekologis, sosial dan ekonomi. Secara estetika, hutan mangrove mempunyai panorama yang indah dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga patut untuk dijadikan kawasan konservasi dan ekowisata.

Hutan mangrove umumnya menempati daerah pasang surut. Habitat mangrove terbaik terdapat di sepanjang pantai yang terlindung dengan gerakan ombak yang minimal dan pada muara-muara sungai. Mangrove tumbuh di pantai yang landai dengan kondisi tanah yang berlumpur atau berpasir. Mangrove tidak dapat tumbuh di pantai yang terjal, berombak besar, atau yang mempunyai pasang surut tinggi dan berarus deras. Mangrove akan tumbuh dengan lebat pada pantai yang dekat dengan muara sungai atau delta sungai yang membawa aliran air dengan kandungan lumpur dan pasir, karena mampu menyediakan pasir dan lumpur yang merupakan media utama pertumbuhannya (Nontji, 2002).

Pada bebearpa bagian, kawasan hutan mangrove di pesisir Kabupaten Berau biasanya merupakan kombinasi hutan mangrove dengan semak belukan dengan pemanfaatan berupa lahan tambak. Hutan mangrove menyebar merata di pesisir daerah Kabupaten Berau mulai dari bagian utara di Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-rabu, Semama dan Maratua di bagian utara dan di Pulau Buaya-buaya di bagian selatan. Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan diseluruh dunia.

FOA (2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19.8 juta ha, turun menjadi 16.4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14.6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove mencapai 4.25 juta hektar pada tahun 1980, turun menjadi 3.53 juta hektar pada tahun 1990 dan tersisa 2.93 juta hektar pada tahun 2000.

Dalam 10 tahun terakhir, mangrove di Berau telah banyak dikonversi menjadi tambak udang dan ikan dengan laju pembukaan lahan yang cepat. LUasan mangrove di Kabupaten Berau pada tahun 1997 adalah 53.500 ha, dengan kegiatan budidaya tambak seluas 450 ha. Luasan mangrove kemudian berkurang secara drastis menjadi 49.000 ha pada tahun 1999. Sampai dengan sekarang, data yang ada sampai dengan tahun 1999, konversi mangrove menjadi tambak di Kabupaten Berau mencapai 4.950 ha.

Estimasi laju degradasi hutan mangrove ini setara dengan 50 ha per hari (BFMP, 2002). Dampak yang terjadi akibat hilangnya hutan mangrove sangat luas, baik yang bersifat biologis (dampak terhadap ekosistem), ekonomis maupun dampak fisik yang berakibat langsung kepada kondisi lahan pantai. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang tepat, fenomena degradasi mangrove akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar potensi terjadinya pada daerah yang dekat dengan pusat kegiatan ekonomi. Melihat hal tersebut, maka kerusakan hutan mangrove harus segerah diperbaiki dengan upaya pengelolaan yang benar agar kerusakan sumberdaya alam pesisir dapat diminimalkan.

Pelatihan PLTS dan Pabrik Es

Pulau Maratua adalah salah satu kecamatan kepulauan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Terdiri dari beberapa kampung kecil di antaranya kampung Teluk Harapan, Payung-payung, Bohe Silian dan Teluk Alulu. Kecamatan Maratua dengan luas wilayah 4.119,54 km2 terletak di antara 117,21º sampai dengan 117,28º BT dan 2,13º sampai dengan 2,15º LU. Utara berbatasan dengan laut Philipina, Timur berbatasan dengan laut Sulawesi, Selatan berbatasan dengan Batu Putih dan Barat berbatasan dengan Pulau Derawan.

Kecamatan Maratua merupakan kawasan kepulauan, sehingga disektor pertanian sub sektor perikanan yang paling potensial. Oleh sebab itu, sebagian besar penduduk Kecamatan Maratua merupakan nelayan. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan kelautan Kabupaten Berau, produksi perikanan tangkap di laut untuk daerah Kecamatan Maratua meningkat dari 1.617,6 ton menjadi 1.737,4 ton. Begitu pula dengan jumlah rumah tangga perikanan tangkap di laut, meningkat dari tahun 2014 sebanyak 222 rumah tangga menjadi 235 rumah tangga di tahun 2015.

Untuk jumlah kapal atau perahu nelayan di Kecamatan Maratua, berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Berau, tidak ada perubahan yang signifikan. Hanya pada tahun 2012 untuk jenis kapal motor, terdapat peningkatan yang cukup drastis dari 183 unit di tahun 2011 menjadi 366 di tahun 2012. Tetapi setela itu menurun lagi di tahun 2013 menjadi 183 unit. Setelah itu pada tahun 2014 dan 2015 tidak ada perubahan jumlah, tetap 184 unit.

Sedangkan untuk jenis perahu tanpa motor dan perahu motor tempel tidak ada perubahan sama sekali dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Perahu tanpa motor tercatat ada 5 unit sedangkan perahu motor tempel ada 69 unit.

Tingkat Kebutuhan nelayan akan Es Balok untuk pengawetan ikan sangat tinggi dikarenakan ”

  1. Melimpahnya Sumber Daya Alam (ikan), masyarakat di kampung Teluk Alulu mata pencahariannya sebagian besar menjadi nelayan.
  2. Pulau Maratua merupakan pulau terluar, sehingga saat ini untuk mendapatkan es balok harus menuju Tanjung Batu atau Talisayan, yang jika untuk nelayan kecil biaya transportasinya sangat mahal atau tidak sesuai dengan pendapatan. Sehingga nelayan kecil sangat tergantung kepada pengepul.
  3. Ukuran es dan kualitas yang masih kurang, sumber listrik di Pulau Maratua terutama kampung Teluk Alulu sangat terbatas, sehingga untuk mendapatkan es sebagai pengawet ikan, menggunakan kulkas rumah tangga yang ukurannya esnya relatif kecil, kualitas kurang baik/cepat cair, harga relatif mahal.

Dengan dibentuknya kelompok usaha masyarakat pengawetan ikan (pabrik es) ini diharapkan bisa membantu nelayan dalam meningkatkan pendapatan sehingga pendapatannya lebih baik seta kegiatan ini memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat yang ada di Pulau Maratua dan bisa menambah pendapatan masyarakat.