Sama-Sama Belajar, Bukan Mengajari (Saja)
|Salah tafsir, inilah yang sering terjadi dalam kegiatan pengorganisasian di masyarakat. Pembawa program cenderung merasa lebih tahu dan paham kebutuhan penduduk lokal dari pada penduduknya sendiri. Mendahulukan kepentingan pembawa program memang menjadi momok besar dalam kegagalan suatu kerja bersama masyarakat. Bukan hanya program tidak berjalan, peluang konflik pun terbuka lebar jika itu terjadi. Hal inilah yang coba diidentifikasi dari awal sebelum program Javlec berjalan di 3 lokasi.
Di awal program, Javlec melibatkan peneliti yang memang sudah berpengalaman untuk riset di lokasi program. Data-data yang didapatkanlah yang kemudian menjadi acuan dalam perencanaan dan bentuk program yang akan dilaksanakan. Ketiga lokasi program memang bukan berisikan penduduk yang berada di bawah garis kemiskianan. Namun apabila melihat aktifitas belanjanya, penduduk di ketiga lokasi ini dikategorikan oleh Javlec sebagai rentan miskin.
Penghasilan mereka cukup, tapi kebiasaan belanjanya terkadang melebihi pemasukan mereka. Barang yang dibeli pun bukan kebutuhan pokok, namun lebih ke kebutuhan hiburan, seperti sound system dan dan peralatan elektronik lainnya. Di Alulu listrik masih terbatas, tapi penduduk rela membeli sound system dan genset agar bisa mendengarkan musik. Sound system dengan harga di atas tiga juta rupiah ini hampir dimiliki setiap rumah di Alulu.
Javlec memang memberikan beragam pelatihan, namun pelatihan yang diberikan tidak semuanya adalah hal yang jauh dari kebutuhan lokal penduduknya. Pelatihan pengolahan makanan bukanlah pengolahan makanan yang selama ini belum dibuat oleh subyek programnya. Semua olahan yang dikembangkan adalah olahan makanan yang selama ini sudah diproduksi, bahkan dikonsumsi sehari-hari oleh penduduk di wilayah program. Javlec hanya memberikan pelatihan bagaimana melakukan inovasi terhadap produk yang dibuat dan baimana menaikkan kualitas produk suapaya layak dipasarkan. Enak saja belum cukup kalau untuk pariwisata. Kemasan menjadi penting begitu pula daya tahannya.
Dalam setiap pelatihan, Javlec berkalaborasi dengan orang-orang yang memang sudah ahli di bidang pengembangan cinderamata berbasis pangan. Memang materi diberikan oleh tenaga ahli, namun fasilitator lapangan juga harus ikut belajar agar bisa menyampaikan materi kepada subjek program ketika dilapangan. Menjelaskan suatu materi kemasyarakat memang harus dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami. Kelas pelatihan dalam forum saja tidak cukup untuk membekali subjek program akan pengetahuan baru. Pengetahuan tersebut harus terus diulang agar subjek program terbiasa dan lebih mengerti akan materi yang disampaikan.
Disinilah fungsi fasilitator lapangan, memahami dulu karakter dan pola komunikasi subjek program. Materi yang didapat di kelas pelatihan kemudian disederhanakan dan dibahas kembali di lokasi program. Diskusi terkait pelatihan sering diselipkan dalam pembicaraan keseharian di masyarakat. Justru, dalam forum-forum non formal masyarakat lebih bisa menerima dan bisa mengkritisi materi yang disampaikan. Solusi dari persoalan yang beredar pun lebih bisa dibahas secara mendalam di luar forum formal.
Fasilitator lapangan memang memiliki kepentingan untuk menyukseskan program yang dibawa, namun kenyataan di lapangan mereka juga terlibat dalam persoalan warga diluar fokus program. Fasilitator lapangan menjadi pendengar dari setiap persoalan yang warga utarakan dan terlibat dalam pencari solusi. Maria, salah satu fasilitator yang bertugas mendampingi perempuan-perempuan di lokasi program sering menjadi tempat curhat Para perempuan terkadang menceritakan kondisi ekonomi dan pendidikan bagi anak-anaknya. Melalui mendengarkan setiap cerita inilah, beragam informasi bisa dikumpulkan. Pemetaan potensi dan persoalan menjadi lebih mudah dilakukan. Sehingga membangunn kesetaraan antara fasilitator dan masyarakat menjadi penting dilakukan.