Dilema PS: Kegagalan dan Keberhasilan Menjaga Relasi Kuasa Masyarakat-Negara atas Sumberdaya Hutan
|“Adalah keniscayaan kalau kebijakan kehutanan mengacu pada prinsip-prinsip konservasi, mengingat fungsi hutan yang terkait dengan banyak hal: udara, tanah, dan air…Kendatipun demikian, kita tidak bisa menegasikan aspek-aspek sosial”.
(Jack Westoby)
Penulis: Hery Santoso
Ketegangan Relasi
Relasi antara masyarakat, hutan dan negara, boleh jadi sejak awal memang diwarnai dengan ketegangan-ketegangan. Mari sejenak kita menengok kembali peristiwa Geger Samin di Jawa, sebagaimana yang digambarkan oleh Santoso (2004) di bukunya: Perlawanan di Simpang Jalan. Ia menegaskan, betapa di mata sebagian besar masyarakat desa hutan di Jawa, kehidupan di penghujung abad 19 adalah sesuatu yang sangat asing. Bagaimana tidak, kurang lebih satu dasa warsa sebelum Samin Surosentiko, tokoh sentral dalam Geger Samin, memulai ajarannya, para polisi hutan sudah sangat intensif berpatroli, mengawasi sekaligus melarang segala bentuk kegiatan ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Mereka berbicara hukum yang mengatur hak atas lahan dan kayu di dalam hutan. Mereka juga berbicara sangsi hukum bagi siapa saja yang memanfaatkan hutan tanpa seijin pemerintah. Mereka pun secara sepihak membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur di mana batas lahan masyarakat harus berakhir, dan di mana sebuah kawasan hutan akan berawal.
Semua itu adalah hal baru yang tidak pernah menjadi bagian dari pengalaman sejarah kehidupan lokal, dan barangkali juga tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak masyarakat pedesaan waktu itu, yang secara turun-temurun beranggapan seperti Samin, bahwa alam dan segenap isinya adalah ciptaan Tuhan, oleh karenanya semua orang boleh memanfaatkannya, sejauh mereka tetap memeliharanya. Akan tetapi bersamaan dengan semakin gencarnya penetrasi ekonomi uang, pasar, dan lembaga-lembaga yang mengatasnamakan negara-bangsa, anggapan semacam itu, apa boleh buat, harus menepi dan memberi jalan kepada kepentingan-kepentingan suprastruktur, mereka-mereka yang terkadang datang dari luar dan sama sekali tak memiliki masa lalu dengan kehidupan setempat. Apa boleh buat, kalangan masyarakat lokal pun pada akhirnya mengalami, semacam, keterasingan dengan kehidupan sehari-hari yang mereka jalani.
Situasi demikianlah yang dari waktu ke waktu dihadapi masyarakat desa hutan, dan terus-menerus dirasakan sebagai beban yang tidak ringan. Maka ketika Samin mengajarkan prinsip-prinsip hidup setara, dan sekaligus menolak segala macam intervensi dari luar yang dianggap merugikan, orang-orang pun segera menyambutnya. Sampai dengan 1907, tahun ketika Samin ditangkap pemerintah kolonial, sedikitnya tercatat 5.000 orang menjadi pengikut Saminisme. Mereka pada umumnya adalah petani-petani miskin yang menjadi keturunan langsung para pendiri desa hutan, jika bukan orang-orang yang pernah terlibat dalam proses “babat alas”.
Mereka kemudian menerapkan aksi-aksi simbolis non kekerasan dalam rangka menolak atau mengajukan klaim kepada pihak suprastruktur, tidak terkecuali orang-orang kehutanan. Mereka menolak berbicara krama –bahasa Jawa halus yang menyiratkan bentuk penghormatan – dengan para petinggi kehutanan dan para petinggi lainnya; sebaliknya mereka justru memilih bahasa ngoko – bahasa Jawa kasar yang lebih menyiratkan kesetaraan – sebagai bahasa percakapan dengan siapa pun. Dalam bahasa ngoko pun, secara literal mereka mengembangkan makna-makna tertentu yang berbeda dengan makna yang biasa dipahami banyak orang. Mereka juga menolak membayar pajak, menolak berbagai bentuk kerja wajib, menolak larangan berladang serta mengambil kayu dari hutan, menolak denda, menolak upah dalam bentuk uang tunai, dan menolak hadir dalam acara-acara apa pun yang dihadiri oleh kalangan suprastruktur.
Sampai di sini, secara jelas kita dihadapkan pada sebuah fragmen ketegangan hubungan antara masyarakat, hutan, dan negara. Maka tidak berlebihan kalau menjelang satu abad kemudian sejak peristiwa Samin di Jawa pecah, Jack Westoby, seorang ekonomom FAO seperti mempertanyakan (kembali): adakah pengelolaan hutan selama ini memiliki komitmen untuk mengatasi kemiskinan dan keterpinggiran kalangan masyarakat lokal, (mereka-mereka yang senasib dengan kelompok Samin)? Dalam kalkulasinya, industrialisasi kehutanan yang berjalan sejak tahun 1950-an dan tetap ditopang oleh model kehutanan akademik, model kehutanan yang sebenarnya menjadi soko guru kolonialisme dalam melakukan eksploitasi hutan (baca: kayu), pada kenyataannya tidak secara signifikan memberikan peningkatan kesejahteraan kepada kalangan masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada hutan. Bahkan dalam beberapa kasus, yang terjadi justru melakukan kriminalisasi kepada mereka. (Kemunculan, keberhasilan……)