Dilema PS: Kegagalan dan Keberhasilan Menjaga Relasi Kuasa Masyarakat-Negara atas Sumberdaya Hutan

Kemunculan, keberhasilan, dan kegagalan

Dari sinilah gagasan perhutanan sosial dan model-model semacamnya lahir. Secara perlahan tapi pasti model kehutanan semacam itu kemudian berhasil menjadi arus yang kuat di kampus-kampus kehutanan, bahkan kemudian diadopsi oleh negara-negara di dunia (terutama berkat advokasi kalangan aktivis), tidak terkecuali Indonesia. Perhutanan Sosial pun kemudian menjadi semacam varian pengelolaan hutan baru, yang tidak semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kayu industri-industri kehutanan, akan tetapi juga diarahkan untuk peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan pembangunan ekonomi regional, sebuah pendekatan yang selama ini sepertinya luput dari perhatian model kehutanan akademik.

Kini, di Indonesia, gagasan Perhutanan Sosial – yang mulai mengalami eskalasi sejak digelarnya Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta dengan tema Forest for People (1978) – terus bergulir seperti bola salju, terutama setelah memasuki masa reformasi, di mana tuntutan demokratisasi terjadi di hampir semua sektor, tidak terkecuali kehutanan. Sejak saat itu, Perhutanan Sosial yang semula bersifat karikatif, hanya berupa kegiatan tumpangsari dan pemanfaatan hasil hutan non kayu dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, untuk tidak mengatakan pendek, kemudian bertransformasi menjadi program formalisasi tenur nasional, untuk tidak mengatakan program strategis nasional tentang akses reform, dengan target luasan 12,7 juta hektar sampai dengan tahun 2024. Hingga Maret 2020, menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setidaknya pemerintah telah menerbitkan 6.475 ijin pengelolaan hutan kepada 822.633 kepala keluarga, meliputi wilayah kelola Perhutanan Sosial seluas 4.074.291 hektar; sebuah capaian yang tidak bisa dibilang kecil, meskipun baru sebatas luasan semata.

Terlepas dari segala kekurangan dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi, Perhutanan Sosial adalah sebuah upaya mengakhiri ketegangan-ketegangan hubungan antara masyarakat, hutan, dan negara, yang sebenarnya sudah berlangsung sangat lama. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah upaya itu membuahkan hasil? Saya kira iya. Apakah itu artinya sebagaimana yang disinyalir oleh Li (2004), bahwa melalui Perhutanan Sosial, pada akhirnya negara justru berhasil melakukan intensifikasi kontrol atas wilayah-wilayah pedalaman yang selama ini cenderung tak terjangkau? Saya kira juga iya. Apakah kemudian Perhutanan Sosial juga sudah bisa meningkatkan kesejahteraan kalangan masyarakat lokal, sebagaimana yang diimpikan oleh Westoby? Terhadap pertanyaan ini, barangkali kita belum sepenuhnya yakin, baik untuk menjawab iya atau tidak.

Dalam hal cerita sukses, kita memang mengenal Kalibiru, sebuah desa di Kabupaten Kulonprogo (Yogyakarta), dimana di sana sekelompok masyarakat mengelola areal Perhutanan Sosial seluas 27 hektar untuk usaha ekowisata dan berhasil mengumpulkan keuntungan rata-rata sebesar Rp. 2 milyar/ tahun. Kita juga mengenal Wanagiri, sebuah desa di Kabupaten Buleleng (Bali), yang berhasil membangun usaha ekowisata melalui Perhutanan Sosial, dan rata-rata setiap tahunnya juga bisa mendapatkan keuntungan kurang lebih sama: Rp. 2 milyar. Boleh jadi di tempat lain kita juga masih akan bisa menjumpai keberhasilan-keberhasilan semacam itu.

Akan tetapi, di sisi lain, kita juga mendapatkan gambaran yang sebaliknya: Perhutanan Sosial cenderung tidak (atau belum?) berdampak secara sosial, ekonomi, maupun ekologi. Areal Perhutanan Sosial dengan tenur formal oleh masyarakat dibiarkan menjadi wilayah yang terbengkelai, jika bukan open access, hingga memancing mereka yang disebut Hardyn sebagai free rider untuk masuk dan melakukan akumulasi keuntungan tanpa batas. Atau kalaupun tidak menjadi wilayah open access, sebagaimana yang dicatat Aji (2014), keuntungan ekonomi yang didapat dari Perhutanan Sosial cenderung tipis. Misalnya saja, keuntungan dari produksi kayu jati di wilayah Perhutanan Sosial di Gunungkidul (DIY), seperti catatan Novianto (2020), juga sangat tipis, bahkan dijumpai beberapa kelompok tani yang merugi. (Begitulah…..)