Dilema PS: Kegagalan dan Keberhasilan Menjaga Relasi Kuasa Masyarakat-Negara atas Sumberdaya Hutan

Begitulah, setelah lima puluh tahun perjalanan Perhutanan Sosial (1970-2020), nampaknya tetap saja kita belum bisa membuktikan secara meyakinkan, bahwa kritik yang secara pedas pernah dilontarkan Westoby terhadap Kehutanan Akademik pada dekade 1970-an bisa dijawab dengan tuntas oleh Perhutanan Sosial. Bahkan secara teoritik pun, nampaknya Perhutanan Sosial masih memerlukan elaborasi secara mendalam, setidaknya agar simplifikasi yang pernah dilakukan model kehutanan akademik tidak terulangi. Kita tahu, seperti yang dicatat Scott (2002), model kehutanan akademik cenderung melakukan simplifikasi terhadap ekosistem hutan. Dalam catatan Li (2002), ternyata  Perhutanan Sosial juga melakukan hal yang sama, bukan terhadap ekosistem hutan, akan tetapi terhadap fenomena sosial. Adalah keniscayaan kalau kemudian Perhutanan Sosial pun berhadapan dengan problematika yang tidak jauh berbeda dengan kehutanan akademik: gagal merumuskan jawaban yang tepat.

Tulisan ini, sesungguhnya berangkat dari kegelisahan-kegelisahan seperti yang sudah dilukiskan di muka: tentang bagaimana menata kembali relasi masyarakat, hutan, dan negara. Bukan mencairkan ketegangan semata, yang ternyata justru berujung pada intensifikasi kontrol negara atas wilayah pedalaman; tetapi juga meningkatkan keseimbangan relasi kuasa antara masyarakat (lokal) dan negara atas sumber daya hutan. Boleh jadi dengan keseimbangan itulah pada akhirnya upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui Perhutanan Sosial bisa diwujudkan. Dan kelestarian sumberdaya hutan juga bisa digapai. Masyarakat sejahtera, hutan lestari; demikian mantra sakti Perhutanan Sosial di negeri ini yang sering kita dengar (di Pilipina kita juga bisa menangkap semangat yang sama: people first, sustaibility will follow).

Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya mengenang Jack Westoby (1913-1988), orang yang secara gencar mempromosikan gagasan Perhutanan Sosial dejak dekade 1970-an. Westoby, ekonom FAO yang dalam karirnya banyak terlibat dalam penyusunan proposal industrialisasi kehutanan di berbagai belahan dunia, pada akhirnya justru seperti menemukan penawarnya, jika bukan anti tesisnya. Perhutanan Sosial, bisa dikatakan sebagai penawar sekaligus anti tesis dari industrialisasi kehutanan, yang menurutnya cenderung tidak berpihak pada kalangan masyarakat lokal, sekaligus juga meningkatkan laju deforstasi. Perhutanan Sosial, juga merupakan tinggalan pemikirannya yang sampai saat ini terus mengalami evolusi dan transformasi, juga adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Tidak ada catatan yang pasti, di berapa negara model Perhutanan Sosial ini diterapkan sebagai bagian dari varian pengelolaan hutan. Tapi yang jelas, selain di Indonesia, di beberapa negara di Asia, seperti India, Thailand, Nephal, Philipina, Malaysia, Vietnam, dan Laos, sejak dekade 1980-an, Perhutanan Sosial telah menjadi arus baru kehutanan yang terus membesar.

Di Indonesia sendiri gagasan Perhutanan Sosial sebagaimana yang dipikirkan oleh Westoby, setidaknya bisa kita pilah ke dalam tiga era. Pertama adalah era permulaan (1980-1990-an), dimana gagasan Perhutanan Sosial mulai diadopsi dalam pengelolaan hutan, dan diwujudkan dalam berbagai kegiatan non tenurial, seperti bantuan-bantuan teknis, pemanfaatan ruang tumbuh tanaman kehutanan untuk produksi aneka tanaman pangan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan kegiatan-kegiatan lain yang secara keseluruhan tidak terkait dengan perbaikan tata kuasa hak masyarakat atas sumber daya hutan. Pada era ini Perhutanan Sosial banyak diterapkan dalam pengelolaan hutan di Jawa oleh Perhutani, sebelum kemudian pemerintah, melalui Departemen Kehutanan, melakukan inisiasi di luar Jawa berupa program Hutan Kemasyarakatan generasi awal, yang juga tidak terkait dengan isu-isu tenurial. Berbagai model yang kita kenal di Jawa adalah, program prosperity approach, tumpangsari, program Pembinaan Masyarakat Desa hutan (PMDH), program Manteri-Lurah (MALU), dan program Perhutanan Sosial awal yang diinisiasi oleh Ford Foundation.

Kedua, adalah era transisi (2000-2015-an), yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan bangkitnya kekuatan Reformasi. Pada era ini gagasan Perhutanan Sosial mulai mengalami kemajuan yang cukup berarti, buah dari advokasi kalangan masyarakat sipil dan segenap kampus yang menginginkan reformasi juga diterapkan di segala sektor, tidak terkecuali kehutanan. Pada era ini gagasan Perhutanan Sosial mulai diterjemahkan sebagai bagian dari pengaturan relasi kuasa masyarakat dan negara atas sumber daya hutan. Isu-isu yang berkaitan dengan tenurial mulai menjadi bagian penting dari program Perhutanan Sosial. (Di Jawa…..)