Keterbatasan Sarana dan Prasarana Pendukung di Teluk Semanting

Secara infrastruktur, prasarana di kampung Teluk Semanting yang hanya berjarak sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan, jauh berbeda dengan kampung Tanjung Batu. Di kampung ini tidak memiliki jaringan listrik, jalanan masih belum beraspal dan dibeberapa titik sangat berdebu dan situasi pemukiman kampung terkesan sedikit kotor karena keterbatasan sarana sanitasi di desa.

Fasilitas pendidikan yang ada baru setingkat Sekolah Dasar (SD) sehingga bagi keluarga yang memiliki anak yang melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) harus mengirim mereka ke Tanjung Batu atau bahkan ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau. Sedang fasilitas kesehatan yang tersedia di kampung ini adalah puskesmas pembantu dengan jumlah tenaga medis yang juga terbatas.

Di kampung ini prasana ekonomi juga masih terbatas. Pasar kampung belumm ada dan jumlah warung pedagang kelontong pun tidak banyak. Pemenuhan kebutuhan sayuran sehari-hari biasanya diambil dari kebun atau belanja pada pedagang keliling. Keterbatasn jumlah sarana dan prasana pendukung di kampung ini menjadikan pengelolaan hasil laut yang melimpah menjadi kurang optimal.

Data jumlah penduduk di Teluk Semanting variatif tergantung sumber datanya. Menurut keterangan lisan dari Kepala Kampung saat ditemui untuk wawancara, jumlah penduduk kampung sebanyak 504 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sekitar 152 KK. Dari jumlah KK ini sekitar lebih dari 20 KK merupakan perempuan kepala keluarga atau Peka. Namun, jumlah menurut catatan BPS Kecamatan Pula Derawan (2015) penduduk kampung Teluk Semanting secara keseluruhan berjumlah 227 jiwa atau kurang dari 60 KK.

Dari segi mata pencaharian, kepala kampung menjelaskan bahwa 60 persen penduduk memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, 35 persen adalah petani dan 5 persen lainnya terdiri dari beberapa profesi seperti petambak, pedagang, pengepul hasil laut dan kebun serta Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dari sisi penghasilan, hasil laut yang diperoleh nelayan di kampung Teluk Semanting tidak berbeda jauh dengan nelayan dari Tanjung Batu. Sebagai misal, seorang nelayan di kampung Teluk Semanting menjelaskan bahwa untuk sekali melaut selama satu minggu dengan kapal dongfeng, seorang nelayan bisa mendapatkan hasil sekitar 4 juta. Dalam satu bulan nelayan biasa melaut 2 kali atau 2 minggu hari kerja. Jika setiap kali melaut menghasilkan 4 juta, maka pendapatan per bulan bisa mencapai sekitar 8 juta.

hasil tangkapan nelayan
Ikan hasil tangkapan nelayan Teluk Semanting

Namun, yang membedakan kampung Teluk Semanting dari Tanjung Batu terletak pada hasil kebun dan hasil industri rumah tangga yang mengolah hasil laut. Di Tanjung Batu penduduk lebih banyak bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit. Penduduk Teluk Semanting pada umumnya adalah pemilik kebun kelapa sawit dan kebun lada. Sejauh ini belum ada data keras yang menunjukkan rata-rata pemilikan  lahan oleh petani kampung Teluk Semanting. Namun dari keterangan lisan kepala kampung menyebutkan bahwa rata-rata keluarga petani mengolah kebun sawit seluas 2 hektar dan kebun lada sekitar 2 hektar bahkan ada yang memiliki kebun sawit hingga 10 hektar.

Dalam satu hektar biasa ditanami dengan 125 batang pohon lada. Jika luas areal pohon lada yang dikelola petani 2 hektar maka seorang petani setidaknya memiliki sekitar 250 batang pohon lada. Sebatang pohon lada jika dirawat dengan bagus bisa menghasilkan 1-2kg lada sehingga produksi lada yang dihasilkan petani berkisar antara 250-500kg. Jika harga per kilo lada adalah 200 ribu, maka penghasilan petani lada pada saat panen besar berkisar antara 50-100 juta setahun.

Di samping panen yang besar, petani lada juga masih bisa mengambil “sisa-sisa” panen lada yang jika dikumpulkan bisa memberi penghasilan sekitar 3 juta per bulan.

Untuk kelapa sawit, pada satu hektar lahan bisa ditanam sekitar 140 batang pohon sawit atar seluruh tanaman mendapat sinar matahari yang cukup. Hasil yang diperoleh dari satu batang kelapa sawit sekitar 10-15kg, artinya dalam 1 hektar bisa memberi hasil sekitar 1.400 – 2.100kg sawit. Jika harga sawit per kilogram sebesar 2000 rupiah, maka penghasilan dari kelapa sawit per hektar berkisar antara 2,8-4,2 juta per bulan. Jika luasan lahan sawit milik petani berkisar antara 2-10 hektar, maka pendapatan minimal petani sawit per bulan adalah 5,8 juta dan pendapatan maksimalnya sekitar 42 juta per bulan.

Di samping hasil kebun yang biasa dikelola oleh petani laki-laki, para ibu di kampung Teluk Semanting juga melakukan usaha produktif yaitu memproduksi kerupuk ikan. Semula, hasil ikan hanya diolah menjadi ikan asin. Namun sejak 2010, para ibu mulai memproduksi krupuk ikan. Ketrampilan mengolah ikan diperoleh dari fasilitasi LSM JALA yang kemudian dipraktekkan dan dikembangkan sendiri oleh para ibu. Pada saat ini mereka telah dapat memproduksi berbagai olahan dari bahan dasar ikan seperti krupuk, amplang, pentol atau bakso ikan dan ikan asin. Dari sisi harga, penghasilan krupuk ikan jauh lebih tinggi dibanding ikan asin. Pada saat ini 1kg krupuk ikan harganya mencapai 50ribu sementara harga per kilogram ikan asin hanya 22ribu saja.

kerupuk semanting
Produk Olahan Ikan Desa Teluk Semanting

Jenis ikan yang digunakan untuk memproduksi krupuk ada beberapa macam seperti ikan bandeng laut dan otek (nama lokal). Pemilihan jenis ikan untuk produksi didasarkan pada 2 alasan yaitu harganya yang murah yaitu sekitar 5 ribu per kilo dan tekstur daging ikan yang lembut. Namun, jenis ikan semacam ini memiliki banyak tulang sehingga produsen krupuk harus memisahkan seluruh tulang dari daging sebelum dibuat menjadi adonan. Pemisahan tulang dari daging dikerjakan secara manual karena mereka tidak memiliki alat untuk memisahkan tulang dari daging.

Keterbatasan sarana kerja menjadikan produktifitas industri rumah tangga untuk menghasilkan krupuk relatif rendah. Seorang ibu yang memiliki usaha pembuatan krupuk mengatakan bahwa pada saat ini usaha yang dikelolanya rata-rata hanya dapat menghasilkan 25kg krupuk selama 5 hari kerja.

Modal yang dibutuhkan untuk membuat satu resep krupuk sekitar 70ribu dengan rincian 30ribu untuk membeli ikan sebanyak 6kg, 20ribu untuk membeli 2kg kanji dan 20ribu sisanya untuk membeli bumbu. Krupuk yang dihasilkan dari 1 resep takaran sekitar 2kg. Jika harga jual krupuk ikan per kilo adalah 50ribu, maka keuntungan yang bisa diperoleh adalah sekitar 30ribu per kilo.

Dari membaca keseluruhan uraian di atas, semakin meyakinkan kebenaran dari ungkapan kepala kampung yang menyatakan di kampung ini tidak ada orang miskin adalah sangat masuk akal, sebagaimana diterangkan di depan. Besarnya pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan, petani dan ditopang dengan industri rumah tangga yang menghasilkan krupuk telah menempatkan mereka di atas UMP.

Namun, bagaimana dengan sisi pengeluaran? Analisa kalender musim akan memberi penjelasan terkait pola pengeluaran masyarakat.

Dari analisa kalender musim, tampak bahwa bagaimanapun penghidupan masyarakat terutama nelayan dan industri yang mengolah hasil laut sangat dipengaruhi oleh musim angin. Pada saat terjadi musim angin, terutama angin utara, kegiatan menangkap ikan menjadi berkurang karena mereka tidak bisa melaut hingga jauh. Beberapa ikan seperti senangin, ikan merah, otek, bawal, arut masih dapat diperoleh sepanjang musim karena ikan-ikan ini biasa hidup di perairan dangkal sehingga nelayan dapat menangkapnya. Namun mengingat harganya yang rendah nelayan di kampung ini menganggapnya sebagai paceklik.

Berbeda dengan kampung lainnya, pada musim paceklik ikan penduduk kampung Teluk Semanting masih dapat mengandalkan pendapatan dari hasil usaha kebun, baik itu kebun lada ataupun sawit. Seperti telah dijelaskan pendapatan dari usaha kebun kelapa sawit dan lada juga memberi penghasilan yang tinggi, bahkan secara relatif dikatakan lebih pasti jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan.

Dalam pelaksanaan FGD (Focus Group Discussion) dengan menggunakan alat yang sama di beberapa kampung lain, pengeluaran biaya hidup dan biaya pendidikan anak seringkali menjadi beban bagi keluarga. Tapi dari data di Teluk Semanting, biaya pendidikan tidak terlalu menjadi masalah. Bahkan beberapa ibu yang hadir dalam FGD sempat mengatakan bahwa biaya pendidikan sudah termasuk dalam biaya hidup sehari-hari. Kondisi sedikit sulit dimengerti karena fasilitas pendidikan di kampung ini hanya terbatas untuk sekolah dasar saja sehingga jika keluarga memiliki anak usia SMP ke atas harus mengirimkan anak mereka ke luar desa, yang artinya akan menjadikan beban keluarga untuk biaya pendidikan yang meningkat. Namun fakta dari kalender musim menjukkan bahwa biaya pendidikan bukan suatu beban bagi keluarga.

Mengapa biaya pendidikan bukan merupakan beban bagi keluarga?

Pertanyaan ini mendorong kami untuk memahami sebaran penduduk berdasarkan usia, khususnya usia sekolah. Menurut BPS (2015), sebaran penduduk berdasarkan usia tersebut tampak bahwa anak usia sekolah dasar, dengan usia 5-14 tahun merupakan populasi terbesar dengan jumlah sekitar 47 anak atau sekitar 71 persen dari total jumlah penduduk usia 5-14 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga sebagian besar menyekolahkan anak di sekolah dasar yang ada di desa tersebut sehingga biaya pendidikan bukanlah merupakan beban yang dirasakan berat bagi keluarga.

Dari keseluruhan pembahasan tentang fakta yang ditemukan di kampung Teluk Semanting menunjukkan bahwa kampung ini memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Hanya saja, kapasitas masyarakat untuk mengembangkan kehidupan ekonomi mereka terkendala oleh terbatasnya sarana dan prasarana yang ada di kampung Teluk Semanting.