Masyarakat Rentan Miskin di Kampung Tanjung Batu

Sejarah Kampung Tanjung Batu bermula dari lahan kosong. Konon, orang pertama yang tinggai pertama kali di Kampung Tanjung Batu adalah orang dari suku Bajo yang datang berlayar hingga ke perairan Tanjung Batu, kemudia membuka lahan untuk berladang lalu tinggal menetap setelah memiliki ladang. Suku yang datang berikutnya adalah suku Bugis yang kemudian membentuk cikal bakal tata pemerintahan kampung.

Sekarang Kampung Tanjung Batu telah berkembang pesat dan merupakan pintu gerbang menuju ke Pulau Derawan, salah satu pula tujuan wisata di Kalimantan Timur. Sebagai kampung transit menuju pulau wisata dunia, fasilitas infrastruktur di kampung Tanjung Batu terbilang lengkap dibandingkan tiga kampung lokasi kajian lainnya.

Jalan menuju kampung ini dari Tanjung Redep, Ibukota Kabupaten Berau, sudah diaspal licin, jaringan listrik PLN tenaga diesel sudah tersedia dan beroperasi selama 24 jam, pelabuhan Tanjung Batu telah memiliki dermaga permanen sehingga dapat digunakan untuk berlabuh kapal berukuran sedang.

Dalam hal air bersih, masyarakat menggunakan pompa listrik untuk menyedot air meski demikian kadar besi (Fe) dalam air relatif tinggi sehingga kualitas air bersih tidak begitu jernih dan agak berbau zat besi.

Dari segi fasilitas umum, kampung Tanjung Batu yang juga menjadi pemangku ibukota Kecamatan Pulau Derawan telah memiliki Puskesmas induk, sekolah mulai dari tingkat SD, SMP sampai tingkat SMA lengkap dengan sarananya. Dari segi ekonomi, kampung Tanjung Batu juga memiliki berbagai fasilitas ekonomi seperti pasar, warung makan, toko kelontong, penginapan dan bank yang sudah dilengkapi dengan mesin ATM. Kecuali layanan bank non ATM, sarana ekonomi di Tanjung Batu dapat melayani kebutuhan masyarakat mulai pagi hingga sekitar tengah malam. Keseluruhan ini menjadikan kampung Tanjung Batu tumbuh menjadi sentra pertumbuhan ekonomi di wilayah ini.

Pertumbuhaan ekonomi kampung Tanjung Batu yang berkembang pesat telah menarik minat banyak orang dari berbagai suku untuk datang dan menetap di kampung ini. Setidaknya ada 5 suku yaitu Bajo, Bugis, Banjar, Jawa dan etnis Tionghoa yang tinggal dan mencari penghidupan di kampung ini. Hingga tahun 2015 lalu, menurut data statistik BPS 2015, penduduk kampung Tanjung Batu berjumlah 4727 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 1.187 KK.

Mata pencaharian penduduk kampung Tanjung Batu sangat dipengaruhi oleh ekosistem yang ada di kampung yakni ekosistem darat dan laut. Menurut BPS (2015), daratan kampung hanya seluas 675,72 kilometer persegi sementara luas perairan laut mencapai 2.405,87 kilometer persegi atau hampir 4 kali lipat luas daratan yang ada. Sayangnya, BPS tidak meinci seberapa banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan, petani, pedagang dan seterusnya. Namun, menurut prakiraan sekretaris kecamatan yang sudah lama mengabdi sebagai PNS di kecamatan ini, sebagian besar atau sekitar 60 persen lebih dari jumlah penduduk berproffesi sebagai nelayan, jasa angkutan dan perdagangan sekitar 20 persen, petanis sekitar 18 persen dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Polisi sekitar 2 persen.

Dibidang pertanian, tanaman yang dikembangkan biasanya merupakan tanaman jangka panjang seperti kelapa, kelapa sawit, dan lada Kelapa sudah dikembangkan sejak lama namun produktifitas kelapa cenderung menurun. Menurut data BPS Kecamatan Pulau Derawan (2015), produksi kelapa pada tahun 2009 mencapai 1.368 ton dari luasan 120 hektar namun pada tahun 2014 produksi kelapa hanya 96,8 ton dari luasan 142 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa tidak lagi diminati oleh petani karena harga jualnya murah, yakni sekitar Rp. 2.500,- per butir kelapa. Sebagai gantinya, petani mulai menanam kelapa sawit dan lada sejak tahun 2013 lalu karena harga jual kelapa sawit dan lada tinggi. Sebagai misal, harga lada sekarang sudah mencapai 145 ribu – 170 ribu per kilogram. Kisah keberhasilan menanam lada dialami oleh sekretaris kecamatan Pulau Derawan yang tahun lalu bisa memperoleh Rp. 500 juta dari menanam lada dengan luas areal 2 hektar.

Keberhasilan petani lada cukup menarik minat penduduk Tanjung Batu, termasuk para nelayan seperti Ali, untuk menanam lada. Motivasi Ali untuk menanam lada adalah untuk menambah penghasilan terutama bila penghasilan dari penangkapan ikan nelayan sedang menurun.

Seberapa besar penghasilan seorang nelayan ?

Penghasilan nelayan salah satunya tergantung dari alat menamkap ikan yang dipergunakan. Menurut Ali, setidaknya ada 8 cara yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan yaitu menggunakan bom, pancing, tombak (tradisional), perahu ketinting, perahu mesin dongfeng, Bagang dan Pukat.

penggunaan bom

Penggunaan bom sekarang sudah dilarang namun pada prakteknya pemboman ikan masih terjadi. Pilihan menggunakan alat tangkap ikan juga bergantung pada jenis ikan yang akan ditangkap Sebagai misal, untuk menangkap ikan kerapu hidup biasanya menggunakan bubu. Dan harga ikan kerapu hidup termasuk yang paling mahal yaitu sekitar 50-70 ribu per kilogramnya.

Sedang untuk menangkap ikan mati bisa menggunakan alat selain bubu. Alat penangkap ikan yang menggunakan pencing, tombak dan perahu katinting biasanya dilakukan diperairan dangkal. Peralatan semacam ini biasa digunakan oleh nelayan kecil karena modal yang diperlukan untuk mempersiapkan peralatan itu tidak berapa mahal. Hasil tangkapan ikan nelayan kecil rata-rata sekitar 20kg ikan per hari, namun jika pada saat musim ikan, nelayan dengan perahu katinting, menurut Basri, dapat memperoleh sekitar 100kg sekali berangkat melaut. Namun biasanya nelayan tidak melaut setiap hari karena harus merawat jawa ataupun perahu.

Harga ikan sangat bergantung dengan jenisnya. Namun untuk memudahkan pemahaman dalam laporan, penghasilan nelayan dihitung dengan menggunakan harga ikan campuran, berdasar ukuran ataupun jenisnya. Harga ikan campuran per kilo biasanya sekitar Rp. 15 ribu per kilo. Jika dalam sehari rata-rata ikan yang diperoleh sebanyak 20 kg dan hari kerja mereka dalam sebulan 15 hari, maka pendapatan kotor nelayan kecil di Tanjung Batu sekitar Rp. 4,5 juta per bulan.

Nelayan yang menggunakan perahu mesin dongfeng dan sejenisnya, sekali melaut bisa mendapatkan ikan lebih banyak lagi. Perahu dongfeng yang menggunakan atap, seperti yang digunakan Ali, biasanya melaut selama 3 hari. Pendapatan kotor terburuk dari hasil melaut selama 3 hari sekitar 2 – 5 juta atau sekitar 600 ribu – 1.5 juta per hari. Jika musim ikan pendapatan bisa jauh lebih besar dari itu bahkan sampai belasan juta. Namun, seperti nelayan katinting, nelayan yang menggunakan mesin dongfen tidak setiap hari pergi melaut, ada waktu untuk istirahat sambil merawat perahu, jaring dan peralatan lainnya.

Sementara pendapatn nelayan yang menggunakan bagang bisa lebih besar lagi. Sebuah Bagang biasa dioperasikan oleh 8 orang pekerja dengan sistem bagi hasil sebesar 2:1. Artinya 2 bagian untuk pemodal Bagang dan 1 bagian untuk pekerja. Oleh para pekerja, hasil 1 bagian ini akan dibagi 8. Dalam satu malam sebuah Bagang bisa menghasilkan 5-6 ton. Misalkan Bagang mendapat 6 ton maka pemilik mendapat 4 ton dan pekerja 2 ton. Hasil 2 ton untuk pekerja akan dibagi secara merata kepada 8 orang pekerja atau sekitar 250kg per orang per hari kerja. Jika harga ikan minimal dihitung 15 ribu per kilo, maka pendapatan pekerja Bagang bisa mencapai Rp. 3,75 juta per hari kerja.

Secara demikian, pendapatan nelayan Tanjung Batu setiap bulan bisa dikatakan besar, bahkan lebih besar dari pada Upah Minimuim Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 2016 adalah 2.161.153 rupiah. Meski demikian, penghasilan nelayan sangat bergantung cuaca.

Untuk mendalami pola pendapatan dan pengeluaran nelayan, menggunakan 3 variable musim yaitu cuaca, pendapatan dan pengeluaran. Untuk kampung Tanjung Batu cuaca yang dimaksudkan terdari dari musim angin, musim hujan dan musim kemarau. Secara pendapatan musim angin akan sangat berpengaruh karena sangat menentukan bisa atau tidaknya nelayan pergi melaut. Sedang musim hujan atapun kemarau tidak berpengaruh banyak terhadap pendapatan nelayan namun justru lebih berpengaruh pada pengeluaran karena pada pergantian musim ini banyak anggota keluarga yang sekit dan membutuhkan perawatan dokter dan membeli obat.

Sedang untuk variabel pendaptan di kampung Tanjung Batu hanya terdiri beberapa item yaitu musim panen ikan, musim paceklik ikan dan kerja buruh di kelapa sawit. Dikatakan musim panen ikan karena pada waktu ini tidak ada angin sehingga berbagai ikan bisa diperoleh khusus ikan kerapu yang harga jualnya tinggi. Selain musim ini pendapatan tidak begitu tinggi, rata-rata hanya 20kg ikan campur seperti selar, belanak, bandengn laut yang nilai jualnya hanya sekitar 15 ribu per kilogram.

Secara ekonomis, pendapatan per hari rata-rata warga penduduk kampung Tanjung Batu sebagaimana diungkapkan dalam FGD minimal setara dengan pengumpulan 20kg ikan campur yang jika dijual harganya sekitar 15 ribu per kilo atau sekitar 300 ribu per hari. Namun, jika dilihat dari sisi pengeluaran, pendapatan itu menurut Basri, seorang nelayan Katinting terkadang kurang karena harus dipotong dengan ongkos melaut dan yang paling besar adalah pengeluaran kebutuhan sehari-hari. Dalam bahasa Basri, “Rumah penduduk di Tanjung Batu ini seperti mall karena seluruh pedagang setiap hari akan menawarkan berbagai macam kebutuhan di depan rumah“.

Pengeluaran untuk sekolah juga besar karena setiap hari harus mengeluarkan untuk uang jajan dan bensin untuk anak pergi ke sekolah. Bagi keluarga yang memiliki anak mahasiswa biaya yang dikeluarkan oleh keluarga itu menjadi lebih tinggi karena mereka harus mambayar uang kuliah sekitar 5 juta tiap awal semester dann juga biaya hidup anak ditempat kuliah. Besaran biaya hidup anak variatif tergantung dari kemampuan orang tua yakni berkisar 500 – 2,5 juta.

Dari analisis kalender musim tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat kampung Tanjung Batu sulit dikatakan miskin karena mereka memiliki pendapatan yang cukup besar. Namun, bagi kebanyakan nelayan pendapatan itu terkadang kurang karena besarnya biaya kebutuhan sehari-hari atau konsumtif. Kesulitan akan bertambah besar manakala penghasilan dari laut rendah atau musim peceklik sementara pola pengeluaran tidak berubah. Oleh karena itu, masyarakat kampung Tanjung Batu mempersepsikan diri mereka menjadi masyarakat rentan miskin.