Selamat Datang di Kampung Madu
|Potret Mitigasi Berbasis Ekonomi Madu
“Sejak awal kami percaya, jika kita mau memahami alam pasti akan memberikan berkah. Kami tidak lagi tergantung dengan menjual kayu, membuat arang serta membiarkan lahan – lahan berkapur kami tidak dapat termanfaatkan”.

Waskito adalah salah satu dari 8 inisiator yang sejak kali pertama mengembangkan lebah madu di Desa Kedung Poh, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul. Saat ini budidaya lebah madu telah dijalankan hampir di seluruh desa yang memiliki jumlah warga 5.796 orang.
Sejak tahun 2009, berangkat dari hasil pelatihan budidaya madu lebah oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul, maka 8 orang mencoba untuk mengembangkan lebah madu di desa Kedungpoh. Pada awalnya, budidaya tersebut masih menggunakan cara – cara seperti yang diajarkan pada saat pelatihan, dengan membuat rumah lebah berbentuk persegi empat dengan sistem rak. Cara tersebut hingga saat ini masih terus digunakan dan telah menyebar ke seluruh pelosok desa. Hampir semua warga membudidayakan lebah madu baik di pekarangan, di kandang sapi, di kebun dan di bawah teras rumah hingga jalan – jalan dipenuhi oleh box – box untuk rumah lebah.

Sebagai konsekuensi dari jumlah lebah madu yang dipelihara banyak, maka membutuhkan jumlah pakan yang banyak pula. Tentu saja lebah madu hanya bisa hidup dari nektar – nektar dan madu yang dihasilkan oleh bunga – bunga tanaman. Pelan – pelan tetapi terus menerus, masyarakat memahami bahwa lebah madu mengambil nektar dan madu dari berbagai jenis bunga termasuk bunga pohon jati dan pohon akasia. Lebih jauh lagi, juga dipahami bahwa lebah madu juga merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan yang secara tiba – tiba, suara dengan tingkat kebisingan tinggi seperti chainsaw dan bensaw .
Atas pemahaman tersebut, sejak tahun 2013 banyak alat – alat untuk penebangan selanjutnya “dipensiunkan”. Bahkan sudah sangat sedikit sekali warga masyarakat yang menebang pohon. Hal tersebut cukup beralasan karena nilai ekonomi madu yang dibudidayakan berbanding dengan nilai kehilangan atas pohon yang ditebang cukup signifikan. Pohon mampu menghasilkan bunga – bunga yang menjadi bahan pangan lebah. Dengan hilangnya satu pohon maka potensi madu yang dihasilkan tentu akan menurun. Perbandingan satu liter madu yang dihasilkan ternyata jauh lebih mahal jika dibandingkan harga jual pohon, sehingga saat ini di Desa Kedungpoh bisa dikatakan sebagai Desa Zero Logging.
Dipensiunkan

Sejak 2013, bensaw ini telah dipensiunkan dari pekerjaannya. Suara yang ditimbulkan dari aktivitas penggunaannya ternyata berdampak pada lebah madu yang dibudidayakan.
Saat ini, salah satu alat yang digunakan dalam pengambilan kayu tersebut tidak banyak dipakai dan hanya mangkrak. Bahkan pada lokasi parkirnya lebih banyak dihuni oleh rumah – rumah lebah madu.
Budidaya madu yang dilakukan selanjutnya juga memberikan dampak berantai dengan budidaya tanaman – tanaman bawah tegakan. Budidaya tanaman bawah tegakan sebenarnya menjadi bagian dari program untuk memberikan pangan bagi lebah madu dengan bunga yang dihasilkan. Jenis – jenis tanaman bawah tegakan yang diusahakan cukup bervariasi mulai dari empon – empon (kapulaga, kunyit, Jahe, dsb) termasuk jenis kacang – kacangan (koro, kacang merah, kacang hijau) sampai dengan jenis – jenis tanaman perkebunan seperti kakao, pisang, sirsak dan tanaman buah seperti mangga, durian, kelengkeng dan advokat. Dapat dipahami bahwa pada tahapan saat ini, usaha – usaha masyarakat tidak lagi menggantungkan hidup dari hasil tebang kayu namun lebih ke hasil – hasil non kayu yang jumlahnya beragam dan variatif. Semangat untuk menggunakan lahan – lahan yang tidak produktif dijalankan dengan upaya – upaya pembibitan dan penanaman. Beberapa jenis tanaman baru yang sedang dibibitkan antara lain Aren, Kakao, Mangga dan Durian.
Hasil dari kajian mengenai stok karbon di desa Kedung Poh adalah sebesar 67,7 Ton eq CO2/Ha. Nilai tersebut jauh melampaui rata – rata ukuran cadangan karbon pada seluruh desa lokasi program ICCTF yang senilai 30.01 Ton eq CO2/Ha. Hal tersebut membuktikan bahwa untuk program mitigasi berbasis lahan, pengembangan pengayaan tanaman akan sangat membantu inisiatif – inisiatif masyarakat seperti di Kedung Poh. (PA)
