Zaman Gelap yang Terulang: Sebuah Catatan Atas Pembangunan Kehutanan Nasional

Oleh: Hery Santoso

Gagasan mengenai penyelenggaraan kehutanan yang didasarkan atas perencanaan dan kelestarian, yang kemudian lazim disebut sebagai kehutanan akademik, sebenarnya sudah mulai berkembang di Jerman kira-kira pada awal abad 18, bersamaan dengan semakin menipisnya cadangan kayu di hutan-hutan Eropa. Pada waktu itu, orang-orang di sana mulai berpikir akan pentingnya merumuskan model kehutanan yang bisa menjamin kelestarian sumber daya, sekaligus kelestarian hasil. Kendatipun demikian, apa yang dinamakan sebagai kehutanan akademik, baru diterapkan di Indonesia kira-kira pada pertengahan abad 19, ketika hutan-hutan di Jawa rusak parah dan korupsi di tubuh VOC merajalela. Pada saat itulah penataan kelembagaan pengelolaan hutan mulai dilakukan secara serius, tidak sekedar menerapkan proyek-proyek reboisasi dan pengalihan ekonomi kayu ke komoditas non kayu, sebagaimana yang dilakukan Van den Bosch pada sekitar tahun 1830 an.

Ahli-ahli dari  Jermanpun didatangkan untuk memulai era baru kehutanan yang tidak semata-mata ditopang oleh mekanisme kontrak dan perijinan pada kawasan-kawasan yang cair, melainkan ditopang oleh organisasi professional yang memangku kawasan tetap. Segera setelahnya kebijakan yang mengatur pengelolaan hutan lestari di Jawapun lahir, yakni Undan-undang Kehutanan Jawa dan Madura yang terbit pada tahun 1865.

Gambaran di atas adalah sekilas mengenai lintasan sejarah pembangunan kehutanan Indonesia yang diinisiasi oleh Belanda dan dimulai dari Jawa. Tidak heran kalau kemudian penyelenggaraan kehutanan di Jawa relative lebih terorganisir, baik kawasan maupun kelembagaan, dibandingkan dengan yang ada di luar Jawa, meskipun itu juga belum menjamin bahwa pengelolaan hutan akan terbebas dari segenap persoalan. Terlepas dari itu semua, nampaknya sejarah kehutanan kita seperti berulang: pemikiran dan orientasi pembangunan kehutanan akademik kemudian mengalami kemandegan, jika bukan kemunduran, karena memasuki masa-masa kemerdekaan, pengelolaan hutan nasional, khususnya di luar Jawa, kembali didasarkan atas pendekatan kontrak dan perijinan. Cerita-cerita yang sering direproduksi di kalangan orang-orang kehutanan pada masa itu adalah bagaimana logika sederhana penambangan kayu kemudian dijalankan untuk mengekstrak hutan-hutan dipterocarpa yang banyak tersebar di pelosok nusantara, demi menggenjot pendapatan nasional.

Obsesi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional secara cepat, bagaimanapun hanya bisa dipenuhi oleh sector migas dan kehutanan yang diberlakukan sebagai tambang. Dari kedua sector itu kegiatan ekstraksi dilakukan dengan seksama, sehingga pada suatu masa sempat menyumbang pendapatan nasional terbesar.

Tidak bisa dipungkiri kalau pendekatan pengelolaan hutan seperti itu kemudian akan melahirkan sebuah rezim perijinan, baik dalam bentuk HPH, HTI, perkebunan, pinjam pakai dan lain sebagainya. Kini tidak kurang dari 20 juta hektar hutan nasional berada dalam kekuasaan konsesi kehutanan, dan sekitar 7 juta hektar dalam konsesi perkebunan. Jika ditambah dengan pinjam pakai pertambanagan, maka angka itu menjadi lebih besar. Kita memang tidak bisa serta merta menuding bahwa kerusakan hutan dan carut-marut persoalan kehutanan nasional disebabkan oleh “nakalnya” kalangan pemegang konsesi, sebagaimana yang sering dicitrakan media. Tapi dari pengalaman masa lalu seharusnya kita tahu bahwa rezim perijinan dalam pengelolaan hutan cenderung rawan, tidak saja sering menciptakan wilayah abu-abu, akan tetapi juga melahirkan apa yang dinamakan sebagai ekonomi biaya tinggi (untuk tidak mengatakan korupsi). Taruhlah kalau mengacu pada catatan Mardipriyono (2004), di luar pungutan resmi (pemerintah pusat, pemerintah daerah  dan masyarakat) yang rata-rata besarnya mencapai 37-46% dari total biaya per meter kubik, rezim perijinan kehutanan nasional masih membebani biaya transaksi tidak resmi rata-rata sebesar 12-13% per meter kubik. Maka kalau dihitung, sebelum pungutan resmi biaya per meter kubik sudah mencapai sedikitnya 54-63%, yang meliputi biaya produksi sebesar 41-51% dan biaya transaksi sebesar 12-13%.

Situasi semacam itulah yang langsung ataupun tidak memberikan kontribusi besar dalam persoalan kehutanan nasional yang dari waktu ke waktu semakin akut. Pada masa reformasi situasinya tidak banyak mengalami perubahan, apalagi ketika mekanisme politik juga ternyata terjebak dalam pusaran demokrasi berbiaya tinggi, rezim perijinan kehutananpun justru seperti mendapatkan atmosfir baru. Akibatnya deforestasi menjadi sesuatu yang sulit untuk dihindari. Misalnya saja pada Januari 2005, berdasarkan data dari Kementrian Kehutanan, kondisi hutan di Indonesia yang sudah terdegradasi mencapai 59.7 juta hektar, dan lahan kritis mencapai 42,1 juta hektar. Sementara itu di hutan produksi sekitar 21,1 juta hektar tidak ada lagi pengelolanya karena telah bangkrut dan meninggalkan kawasan yang rusak.

Dari data Kementrian Lingkungan Hidup 2003, menunjukkan di Indonesia telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kasus tanah longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Dalam tahun yang sama sedikitnya tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten. Masih dalam periode yang sama juga tercatat lahan sawah di 19 propinsi terendam banjir, sekitar 263.071 hektar sawah gagal panen dan 66.838 hektar puso.

Jika atas nama pertumbuhan ekonomi dan penguatan politik demokrasi zaman gelap kehutanan berupa rezim perijinan diulang, atas nama penghijauan segenap proyek penanaman yang bernilai triliunan rupiahpun terus diselenggarakan. Catatan CIFOR (2007) tentang proyek rehabilitasi lahan dan hutan di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1960 an, sedikitnya telah mencapai total luas 96,3 juta hektar (54,6 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 41,7 juta hektar di luar kawasan). Dengan tingkat keberhasilan yang sangat bervariasi, dari 19%-93%, setidaknya menunjukkan bahwa proyek-proyek penanaman itu belum bisa dikatakan efektif dalam menangani kasus-kasus deforestasi dan degradasi lahan. Apalagi kalau dikaitkan dengan laju kecepatan rehabilitasi dan deforestasi yang sangat tidak berimbang, maka proyek-proyek penanaman itu menjadi terkesan karikatif. Misalnya saja pada tahun 2000 target rehabilitasi hanya sebesar 18,7 juta hektar, kira-kira tidak lebih dari 1/5 dari total luas lahan yang terdegradasi. Berangkat dari kenyatan-kenyataan itu maka bisa dipahami kalau kemudian hasil studi CIFOR menyimpulkan bahwa 85% dari total anggaran proyek rehabilitasi yang sudah berlangsung lebih dari 4 dekade cenderung tidak termanfaatkan secara efektif.

Akibatnya meskipun standar biaya per hektar proyek rehabilitasi pemerintah umumnya lebih tinggi dari standar pembiayaan penanaman yang dilakukan oleh swasta (HTI misalnya), akan tetapi tingkat keberhasilannya juga tetap rendah. Hutan-hutan yang terdegradasi tidak kunjung bisa dipulihkan, meskipun ditopang dengan model gerakan seperti GNRHL, atau penyediaan bibit seperti KBR. Dengan kata lain bisa diungkapkan kalau produktivitas hutan nasional tidak kunjung bisa ditingkatkan meskipun sudah ditopang dengan anggaran yang cukup besar.

Tekanan kehutanan nasional rupanya tidak hanya berhenti sampai di situ. Rezim perijinan yang cenderung tidak mampu mengkonsolidasikan kawasan, dan justru malah menciptakan daerah bayang-bayang, untuk tidak mengatakan wilayah abu-abu; serta mendorong terciptanya hutan-hutan yang rusak, pada akhirnya seperti dengan sengaja mereproduksi konflik dan kemiskinan masyarakat yang selama ini bergantung pada sumber daya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sejak tahun 1970 an kesadaran kehutanan akademik untuk memasukkan etika sosial dalam pengelolaan hutan sebenarnya sudah dimulai, dengan harapan persoalan deforestasi, degradasi, dan juga dehumanisasi yang dipicu oleh kemiskinan dan keterbelakangan bisa ditangani dan diselesaikan. Karena bagaimanapun, industrialisasi kehutanan yang melaju begitu hebat sejak dasa warsa 60 an, seperti yang dicatat Westoby, pada akhirnya justru menimbulkan berbagai persoalan baru. “Makin banyak uang terlibat dalam bisnis kehutanan, makin banyak keuntungan diraup, tapi juga makin tinggi laju deforestasi, dan makin lebar kesenjangan terjadi”, demikian menurutnya. Atas dasar itulah dia kemudian mencoba mengajukan prinsip baru penyelenggaraan kehutanan, yang lebih berorientasi ke bawah: memfokuskan perhatian pada usaha-usaha pemberdayaan kalangan masyarakat miskin.

Kata-katanya yang paling sering diingat orang adalah, “Making trees serve people”, sebuah semangat yang kemudian mengilhami berbagai pendekatan kehutanan mutakhir yang lazim disebut sebagai kehutanan masyarakat.

Di Indonesia pendekatan kehutanan seperti itu sudah mulai diujicobakan sejak dua sampai tiga dekade yang lalu, kendatipun demikian baru 5 tahun terakhir mengalami kemajuan yang cukup berarti, setidaknya melalui program Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Melalui program-program tersebut masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan bisa memperoleh hak pengelolaan hutan selama 35 tahun dan bisa diperpanjang.

Tidak bisa dipungkiri, program-program tersebut adalah peluang besar bagi masyarakat miskin yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Melalui program ini mereka memiliki kesempatan untuk bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan, baik berupa kayu maupun non kayu. Sejauh ini telah ditetapkan target nasional pengembangan Hutan Kemasyarakatan sedikitnya 2 juta hektar, Hutan Desa  500.000 hektar dan Hutan Tanaman Rakyat sekitar 5 juta hektar. Tapi sayangnya di lapangan program-program populis itu tidak bisa berjalan efektif.

Angka-angka realisasinya sangat jauh berada di bawah targetnya. Berbagai persoalan seperti perijinan yang terdiri dari banyak meja hingga tarik ulur antara pusat dan daerah selama ini menjadi kendala yang tidak kunjung bisa terselesaikan. Tidak heran kalau kemudian ada anggapan masyarakat bahwa pemerintah dipandang tidak serius mengembangkan kehutanan masyarakat, tidak serius mengatasi persoalan konflik lahan dan kemiskinan masyarakat desa hutan. Dibandingkan dengan perijinan untuk konsesi hutan tanaman, perkebunan dan pinjam pakai pertambangan; perijinan yang diterbitkan untuk hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat memang terasa sangat tidak berimbang.

Pertanyaan yang kemudian perlu diajukan adalah: apakah dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, kehutanan nasional akan memiliki posisi tawar yang cukup meyakinkan terhadap dinamika tuntutan-tuntutan global yang akhir-akhir ini mengemuka? Dalam hal isu perubahan iklim misalnya, apapun faktanya, nampaknya akan naif memandang isu tersebut adalah sebuah konstruksi sosial yang bisa dikesampingkan begitu saja. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, sudah barang tentu menjadi fokus perhatian berbagai kalangan internasional dalam hal isu perubahan iklim ini. Melalui model-model pengelolaan hutan lestari dan pencegahan-pencegahan degradasi serta deforestasi, Indonesia dipandang memiliki peluang yang besar untuk ikut berkontribusi dalam mengurangi dampak buruk perubahan iklim. Kendatipun demikian, tingginya laju degradasi dan deforestasi yang selama ini terjadi, baik karena pembalakan liar maupun konversi lahan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman justru memberikan ancaman yang sangat serius bagi peningkatan emisi karbon di udara. Pembukaan lahan gambut yang tidak terencana dengan baik juga dipandang ikut memperburuk situasi, mengingat tingkat emisi yang ditimbulkan dari lahan gambut relative tinggi. Itulah mengapa kemudian Indonesia seperti berada di persimpangan jalan, jika tidak mau dikatakan berada pada posisi paradox, dalam konstelasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim: di satu sisi negeri ini memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam penyerapan karbon di udara, di sisi yang lain juga menjadi penyumbang emisi yang tidak kecil, terutama akibat pembukaan lahan hutan yang tidak terencana dengan baik.

Sejauh mana kita kemudian mampu mendorong sistem keadilan dalam hal tanggung jawab negara-negara maju untuk mendukung negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam pengurangan emisi global dan juga bantuan-bantuan finansial yang sifatnya tidak berupa utang?  Sejauh mana Indonesia bisa memainkan peranan strategis dengan blok ASEAN nya? Dalam perspektif bagaimana Indonesia menterjemahkan komitmen pengurangan emisi melaui skema REDD+? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi sangat penting untuk diajukan, ketika kita tidak ingin hanya menjadi penari bagi irama genderang negara lain. Kritik kalangan swasta terhadap gegap gempitanya proyek REDD saya kira harus diterjemahkan dalam kerangka ini, bukan dalam kerangka upaya untuk melakukan “Moratorium Oslo”, satu wacana tandingan terhadap LoI yang oleh beberapa kalangan disinyalir akan melakukan moratorium perijinan alih fungsi hutan.

Berangkat dari berbagai hal yang sudah dikemukakan di atas, nampaknya memang upaya melakukan reinventarisasi dan rekonfigurasi modalitas kita dalam konteks penanganan isu kehutanan global seperti perubahan iklim adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan, terlepas apakah isu perubahan iklim adalah sekedar fakta sosial sebagaimana yang disinyalir Haas dan Pettenger, ataukah isu itu memang fakta empiris sebagaimana yang diyakini Al Gore dan Stern. Fakta empirisnya boleh jadi masih menjadi perdebatan akademik di berbagai kampus dan pusat-pusat penelitian, akan tetapi fakta sosialnya tidak lagi bisa kita pungkiri: perubahan iklim kini telah menjadi agenda resmi bangsa-bangsa di dunia yang didukung oleh berbagai instrument politik, ekonomi, bahkan termasuk kebudayaan, kendatipun retorikanya diekspresikan dengan cara yang bermacam-macam. Komitmen  pemerintah Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi nasional sebesar 26-41% sampai dengan tahun 2020 adalah satu pilihan posisi dalam menanggapi isu-isu itu, tetapi upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk di dalamnya menata kinerja sektor kehutanan dan lingkungan, termasuk di dalamnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutmaa bagi mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, adalah sebuah keniscayaan hidup berbangsa dan bernegara.

***

Add a Comment