Pemanenan Kayu Perhutanan Sosial: Pembuktian dari Yogyakarta Untuk Indonesia
|Tahun 2019, pertama kali perhutanan sosial di Yogyakarta telah dapat melakukan pemanenan kayu. Pemanenan kayu tersebut bukan hanya terkait dengan teknis menebang kayu saja, namun pemegang izin harus mematuhi penatausahaan hasil hutan menurut PermenLHK Nomor P.67/2019 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi. Ini merupakan pembuktian bahwa masyarakat sekitar hutan mampu mengelola hutan produksi dan memperoleh manfaat atas hasil hutan kayu.
Mengacu data statistik kehutanan DIY (2019), total hasil penebangan kayu hutan kemasyarakatan pada Tahun 2019 sebanyak 3.290,75 m3.[1] Kubikasi tersebut berasal dari areal HKm seluas 243,5 hektar, dari 8 kelompok tani hutan. Setidaknya 5 milyar rupiah beredar dalam usaha hasil kayu hutan kemasyarakatan di Yogyakarta.
Jika diproyeksikan secara nasional, menurut data PIAPS bahwa perhutanan sosial pada Hutan Produksi (HP) ditargetkan seluas 4.328.612 hektar dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 4.445.521 hektar.[2] Artinya, setidaknya alokasi 8,7 juta hektar dapat dimanfaatkan untuk memproduksi hasil hutan kayu.
Mengacu data series 2015-2019 yang dirilis oleh KLHK (2020), hutan alam dapat menghasilkan kayu rata-rata sebesar 6,78 juta m3 per tahun dan hutan produksi sebesar 36,36 juta m3 per tahun.[3] Dengan demikian, secara total dihasilkan kayu bulat sebesar 43,14 juta m3 per tahun. Selanjutnya, ekspor kayu olahan pada tahun 2019 secara nasional sebesar 17.958.160 m3. Dengan asumsi rendemen 30%, estimasi kebutuhan kayu bulat secara nasional sebesar 58,86 juta m3.
Artinya, alokasi areal perhutanan sosial (PIAPS) dan kayu perhutanan sosial masih berpeluang untuk ikut berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kayu bulat nasional. Dengan pembuktian pemanenan kayu dari Yogyakarta, perhutanan sosial sangat relevan untuk terus dikawal dan dikembangkan di Indonesia.
Perhutanan sosial juga dapat memberikan kontribusi pada pengentasan kemiskinan bagi masyarakat sekitar hutan. Dengan hasil penebangan kayu tersebut, masyarakat sekitar hutan dapat memperoleh pendapatan tambahan dari pengusahaan kayu kehutanan.
Setidaknya jika mengulas perhutanan sosial dan penurunan kemiskinan dapat diperoleh dari beberapa referensi perhutanan sosial. Kemitraaan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan (2018), menyatakan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi langsung dengan hutan, 71,06 persen dari desa-desa ini masih menggantungkan penghidupannya dari sumberdaya hutan. Sekitar 12 juta masyarakat hidup di pinggiran hutan dan 66 persen di antaranya adalah miskin.[4] Ini artinya jika tata kelola perhutanan sosial diurus dengan baik, maka dapat memberikan dampak yang cukup signifikan bagi desa-desa sekitar hutan.
Jika hanya melihat pada hasil kayu, memang perhutanan sosial pada hutan produksi dapat berdampak positif pada pemenuhan kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika melihat pada proses tidaklah mudah bagi pemegang izin perhutanan sosial untuk memenuhi prosedur penebangan dan dokumentasi legalitas kayu. Seperti telah disinggung di atas, bahwa pemegang izin juga harus mematuhi SIPUHH.
Menurut PermenLHK Nomor P.67/2019, Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau disebut SIPUHH adalah adalah sistem informasi berbasis web yang digunakan sebagai sarana pencatatan dan pelaporan secara elektronik dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan. Sedangkan, Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, penandaan, pengangkutan/ peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu.
Menurut Javlec (2020), bahwa untuk memenuhi penatausahaan hasil hutan kayu pada hutan kemasyarakatan, kelompok tani pemegang izin hutan kemasyarakatan dapat menjalankan SIPUHH karena adanya pendampingan secara terus menerus dalam mendokumentasikan hasil penebangan dan aplikasi SIPUHH.[5] Dengan keterbatasan kapasitas sebagai petani hutan dalam tahapan prosedur legalitas penatausahaan kayu, pendampingan dapat berasal dari dinas kehutanan, perguruan tinggi, atau pun lembaga swadaya masyarakat.
Memang berbeda dengan pemegang izin dari korporasi, kelompok tani memiliki keterbatasan dalam kapasitas sumberdaya manusia maupun limitasi modal untuk penebangan. Keterbatasan kapasitas SDM dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan pendampingan. Ini dapat dilakukan oleh dinas kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Namun, untuk menjawab limitasi modal penebangan diperlukan “bapak angkat” dari pihak lain. Seperti diketahui, bahwa provisi sumberdaya hutan (PSDH) harus dibayar ketika kayu masih di Tempat Penampunag Kayu. Artinya, kayu belum dapat diperdagangkan karena pemegang izin harus menyelesaikan kewajiban membayar provinsi sebagai penerimaan negara bukan pajak. Ini yang membutuhkan kerjasama dengan pemodal atau pengusaha industri kayu.
Di sinilah, fasilitasi akses pemasaran kayu diperlukan untuk kelompok tani. Fasilitasi dapat dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat atau dinas kehutanan untuk membangun kerjasama antara pemodal dengan kelompok tani sebelum penebangan kayu dilakukan.
Jika perhutanan sosial akan diproyeksikan untuk dapat berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakt maka diperlukan perbaikan tata kelola perhutanan sosial pada hutan produksi. Beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah adalah sebagai berikut:
- Pemerintah dapat menerbitkan prosedur penatausahaan hasil hutan kayu untuk perhutanan sosial yang lebih sederhana, mudah diakses dan dioperasikan oleh kelompok tani hutan.
- Pemerintah dapat memberikan fasilitasi pendampingan dalam operasional Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dan subsidi untuk PSDH bagi kelompok tani HKm.
- Pemerintah dapat menunjuk Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk melakukan kerjasama teknis penebangan kayu dengan kelompok tani HKm, termasuk di dalamnya operasional Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).
- Pemerintah dapat membangun fasilitasi skema kemitraan penebangan kayu antara industri primer dengan kelompok pemegang izin perhutanan sosial. Ini untuk menjawab keterhubungan hulu-hilir sektor perhutanan sosial agar dapat menjamin keterserapan kayu dengan harga yang wajar sesuai mekanisme pasar kayu. Hal ini diperlukan karena pemegang izin perhutanan sosial memiliki keterbatasan teknis dan pengetahuan pasar kayu.
*Penulis : Exwan Novianto
[1] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019). Buku Statistik Kehutanan. DLHK, Yogyakarta.
[2] Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) Revisi 1 dengan Keputusan Menteri Nomor. SK. 4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 Tanggal 25 September 2017.
[3] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019). Kinerja KLHK 2019. KLHK, Jakarta.
[4] Monica Tanuhandaru (2018). Perhutanan Sosial dan Upaya Penurunan Emisi. Kemitraaan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan. Bahan Workshop Hutan dan Deforestasi Indonesia, Jakarta.
[5] Javlec Indonesia (2020). Penebangan Kayu Perhutanan Sosial: Pembelajaran Hutan Kemasyarakatan pada Hutan Produksi di Yogyakarta. Javlec Press, Yogyakarta.