Benang Kusut Penegakan Hukum Kehutanan Di Indonesia
|Pembakaran Hutan Yang Terulang
Pembakaran hutan yang selalu berulang dari tahun ketahun merupakan salah satu ancaman serius bagi kelangsungan hutan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki kawasan hutan yang cukup besar, Sehingga dengan besarnya kawasan hutan, maka perlu adanya perlindungan konkrit terhadap kelangsungan hutan di Indonesia.
Kebakaran Tahun Pada tahun lalu yaitu tahun 2015 merupakan kebakaran hutan yang sangat memprihatinkan. Kebakaran terjadi di beberapa kawasan hutan di Indonesia. Jumlah hotspot dari Januari sampai September 2015 mencapai 1.831 titik. Dari jumlah itu, hotspot paling banyak berada di hutan produksi (469 titik), hutan produksi terbatas (398 titik), kawasan konservasi (264 titik), hutan produksi konvensi (221 titik) (KLHK, 2015).
Akibat dari kebakaran hutan pada tahun 2015 lalu, menyebabkan kerusakan hutan di Indonesia yang cukup serius, selain itu tebalnya kabut asap telah masuk pada level berbahaya, sehingga akibat kabut asap tersebut sudah banyak korban jiwa berjatuhan, Data yang dilansir oleh kemensos menunjukkan bahwa jumlah korban meninggal dunia akibat dari kabut asap kebakaran hutan berjumlah 19 orang (Kemensos, 2015). Selain korban meninggal dunia banyak juga masyarakat yang terkena ISPA dan penyakit pernafasan lainya. Berdasarkan data dari BNPB masyarakat yang terkena ISPA mencapai 529.527 orang (BNPB, 2015). Dampak dari kabut asap tahun 2015 lalu juga menyebabkan terhentinya aktivitas masyarakat, mulai dari diliburkanya proses belajar mengajar di sekolah. Hal ini tentu menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang terkena dampak asap tersebut.
Dalam rangka untuk menangani kabut asap pada tahun 2015 lalu pemerintah republic indonesia melakukan berbagai upaya yang diantaranya yaitu menetapkan kabut asap sebagai bencana nasional. Selain itu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan meminta bantuan asing diantaranya adalah singapura, Malaysia bahkan Rusia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut sudah merupakan upaya awal yang positif dan harus di dukung oleh berbagai pihak.
Problematika Hukum Kehutanan di Indonesia
Adanya pembakaran hutan yang dilakukan dari tahun ketahun ternyata terdapat aspek hukum yang melindungi para oknum pembakar hutan. Hal inilah yeng menjadi alasan atau dasar para oknum pembakar hutan untuk melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Dalam ketentuan Pasal 69 ayat 2 di UU Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperbolehkan untuk membuka lahan dengan cara membakar hutan. Kemudian dengan adanya aturan dalam Undang-undang tersebut, lalu dijadikan dasar oleh para pemangku kepentingan di daerah untuk membuat aturan-aturan pelaksana yang memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar hutan yang salah satunya adalah terdapat didalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang membolehkan pembakaran hutan.
Adanya regulasi yang memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar hutan tersebut merupakan permasalahan serius dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu atas dasar peristiwa pembakaran hutan yang menyebabkan dampak buruk pada tahun 2015 lalu sudah seharusnya aturan mengenai memperbolehkanya membuka lahan dengan cara membakar hutan harus segera di revisi oleh para legislator di negeri ini. Hal ini tentu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Albert van Dicey bahwa para legislator harus mencerminkan pendapat umum/public opinion serta bersikap sesuai dengan pendapat umum. Bahwa pendapat umum masyarakat tentu menginginkan adanya revisi terhadap pasal tersebut. Hal ini penting dilakukan, karena menurut Max Weber bahwa hukum merupakan suatu tertib yang memaksa yang mempunyai kedudukan potensial dari kekuatan masyarakat. Jika suatu tertib (aturan) yang memaksa itu tidak baik dan tidak sesuai dengan tertib masyarakat saat ini maka tidak perlu untuk dipertahankan. Karena hukum harus sejalan dan selaras dengan apa yang kita lihat dan terjadi di dalam masyarakat.
Belum selesai dengan problem regulasi problem hukum kehutanan muncul lagi dengan dibacakanya Putusan Pengadilan Negeri Palembang yaitu Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, yang dalam putusasan tersebut majelis hakim menolak gugatan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan/KLHK untuk seluruhnya. Hal ini tentu menjadi pukulan terhadap KLHK karena gugatanya ditolak, namun yang menarik dari putusan tersebut bahwa majelis hakim banyak menggunakan pertimbangan pertimbangan dari tergugat, dan hanya sedikit menggunakan pertimbangan dari penggugat/KLHK. Sehingga dalam putusan tersebut memutuskan bahwa tergugat tidak terbukti bersalah.
Atas putusan Pengadilan Negeri Palembang tersebut tentu harus menjadi koreksi bagi KLHK untuk lebih memperkuat alat bukti yang relevan terhadap kasus yang bergulir. Hal ini dikarenakan masih ada jalur banding, kasasi dan peinjauan kembali yang bisa dilakukan. Selain itu tuntutan pidana bisa saja segera di gulirkan walaupun gugatan perdata kalah pada pengadilan tingkat pertama, bisa jadi tuntutan pidana bisa menang. Namun yang terpenting adalah kesiapan dari KLHK untuk menghadapi kasus tersebut.
Langkah Penanggulangan Kebakaran Hutan di Indonesia
Agar pembakaran hutan yang menimbulkan dampak buruk bagi Indonesia tidak terulang lagi ditahun-tahun mendatang, maka dari pembahasan diatas penuis memformulasikan langkah penanggulangan terhadap pembakaran hutan di Indonesia. Dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia ada langkah-langkah yang perlu diperhatikan yang meliputi langkah pencegahan (preventif) dan langkah penindakan (represif)
Langkah pencegahan (preventif) meliputi: pertama, dengan memperketat izin pakai kawasan hutan di Indonesia, hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa orang/badan hukum yang menggunakan kawasan hutan di Indonesia adalah orang/badan hukum yang sesuai degan prosedur-prosedur dan syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam regulasi yag ada di indonesia kedua, membuat daftar hitam nama-nama perusahaan yang telah melanggar ketentuan regulasi diindonesia, atau melakukan perusakan terhadap kawasan hutan yang ada di indonesia ketiga, meningkatkan monitoring atau pengawasan dari aparatur pemerintahan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup terhadap orang/subyek hukum yang mempunyai izin kawasan hutan. keempat, mencabut izin pakai kawasan hutan terhadap orang/badan hukum yang terbukti melakukan pelanggaran, kelima, dilakukanya sosialisasi-sosialisasi kepada masyarakat umum terkait dampak buruk pembakaran hutan, keenam, sebagai langkah penanggulangan terhadap korban kebakaran hutan maka perlu mempersiapkan fasilitas rumah sakit yang baik di daerah yang rawan terjadi kabut asap, ketujuh, melakukan kerjasama-kerjasama kepada LSM/NGO di bidang kehutanan dalam rangka menjaga kawasan hutan yang ada di Indonesia.
Langkah penindakan (represif) meliputi: pertama, revisi terhadap pasal-pasal yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, selain itu penting pula untuk membuat aturan atau regulasi yang mendukung terkait larangan pembakaran hutan, kedua, adanya koordinasi yang baik antar lembaga penegak hukum dalam rangka melakukan penindakan terhadap kasus-kasus pembakaran hutan di indonesia, ketiga, menuntut pelaku pembakaran hutan secara pidana dan juga perdata yang diindikasi melakukan pelanggaran pelanggaran, keempat, jika kabut asap yang terjadi semakin mengkhawatirkan maka perlu untuk memberikan tempat pengungsian sementara bagi para korban kabut asap/kebakaran hutan di indonesia.
Pembakaran hutan dengan cara sporadis dan tidak memperhatikan aspek lingkungan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Sehingga keseriusan pemerintah republic Indonesia dalam menangani masalah kehutanan tentu sangat dinantikan oleh masyarakat di Indonesia dan jangan sampai kebakaran hutan terulang di tahun ini. Errare Humanum Est Trupe In Errore Perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan)
Arifin Ma’ruf,
Penulis adalah koordinator Bidang Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia