|

Dilema PS: Kegagalan dan Keberhasilan Menjaga Relasi Kuasa Masyarakat-Negara atas Sumberdaya Hutan

Apakah memang benar demikian adanya? Sekali lagi, kita tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena berbagai hasil studi selalu menunjukkan dua sisi mata uang: keberhasilan dan kegagalan. Tradisi kehutanan masyarakat dalam bentuk repong, simpukn, parak, tembawang dan lain sebagainya pada kenyataannaya sampai hari ini masih terus berkembang dan tidak sedikit kalangan masyarakat pelakunya bisa membuktikan keberhasilan secara ekonomi dan ekologi, walau tanpa dukungan tenur dan kelembagaan formal. Alih-alih akan melakukan penguatan pada model-model tradisi kehutanan masyarakat semacam itu, kalau kita mengacu pada studi Tropenbos (2019), bahkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang diterbitkan pemerintah cenderung tidak mengalokasikan ruang yeng memadai untuk formalsasi tradisi kehutanan masyarakat yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun itu. Tetapi di sisi lain kita pun tidak bisa memungkiri akan keberhasilan Perhutanan Sosial mengangkat kehidupan kalangan masyarakat di Kalibiru dan Wanagiri, dan mungkin juga di tempat-tempat lain. Boleh jadi, dilema semacam inilah yang menjadikan Perhutanan Sosial selalu menarik untuk diperbincangkan dan diujicobakan.***

Bahan Bacaan:

Li, T. M. (2002). Engaging Simplifications: Community-Based Resource Management, Market Processes and State Agendas in Upland Southeast Asia. World Development Vol. 30, No. 2, pp. 265–283, 2002

Li, T. M. (1999b). Marginality, power and production: analysing upland transformations. In T. M. Li (Ed.), Transforming the Indonesian uplands: Marginality, power and production (pp. 1–44). Amsterdam: Harwood Academic Publishers.

Li, T. M. (Ed.). (1999c). Transforming the Indonesian uplands: Marginality, power and production. Amsterdam: Harwood Academic Publishers. Li, T. M. (2000). Articulating indigenous identity in Indonesia: resource politics and the tribal slot. Comparative Studies in Society and History, 42(1), 149–179.

Li, T. M. (2001a). Boundary work: community, market and state reconsidered. In A. Agrawal, & C. Gibson (Eds.), Communities and the environment: Ethnicity, gender, and the state in community-based conservation (pp. 157–179). New Brunswick: Rutgers University

Lynch, O. J., & Talbott, K. (1995). Balancing acts: Community-based forest management and national law in Asia and the Pacific. Washington, DC: World Resources Institute.

Peluso, N. (1993). Coercing conservation? the politics of state resource control. Global Environmental Change, 3, 199–217.

Peluso, N. L. (1995). Whose woods are these? countermapping forest territories in Kalimantan, Indonesia. Antipode, 27(4), 383–406.

Peluso, N. L. (1996). Fruit trees and family trees in an anthropogenic forest: ethics of access, property zones, and environmental change in Indonesia. Comparative Studies in Society and History, 38(3), 510–548.

Santoso, H., 2004, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, Damar, Yogyakarta.

Santoso, H.  2005, Masyarakat Lokal yang Dibayangkan: Kemiskinan Imajinasi Terhadap Perubahan dan Perbedaan Dalam Modernitas, dalam Komuniti Vol. 3. Tahun 2005, FKKM, Bogor.

Scott, J.C. 1976, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in southeast Asia New Heaven: Yale University Press.

Scott, J. C. 1993, Perlawanan Kaum Tani, Terj. Budi Kusworo, Hira Jamtani, Mochtar Probotinggi, Gunawan Wiradi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesaia, Jakarta

Scott, J. C. 2000, Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan sehari-hari Kaum Tani, Terj. A.Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar,  Yayasan Obor Indonesia, Jakarta..

Scott, J. C. 1998, Seeing Like State, New Heaven: Yale University Press.

Vandergeest, P., & Peluso, N. L. (1995). Territorialization and state power in Thailand. Theory and Society, 24, 385-426.

Westoby, J. 1989, Introduction to World Forestry, Basil Blackwell, UK

Westoby, J. 1987, The Purpose of Forest, Basil Blakwell, UK.

Similar Posts