Leviathan dan Pemanasan Global
|Oleh: Hery Santoso (Pengurus JAVLEC)
Kyoto is, without doubt, only the first step. We will have to do fight this rapid increase temperature on our wonderful blue planet. (Klaus Toepfer, Head of UNEP, 2005).
Sekitar tahun 30 an, sebagaimana yang dicatat Mary E. Pettenger (2007), para ilmuwan dari berbagai disiplin pernah meramalkan, bahwa berdasarkan pengamatan dan temuan-temuan mereka, perlahan tapi pasti bumi akan kembali mengalami jaman es: suhu bumi akan turun secara drastis hingga mencapai titik beku. Tapi nampaknya scenario kembalinya jaman es itu kini sudah dilupakan, untuk tidak mengatakan tidak terbukti, dan sejak satu dekade
belakangan ini para ilmuwan justru sibuk membicarakan hal yang sebaliknya: bumi akan mengalami pemanasan global, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya perubahan iklim. Dalam waktu yang relative singkat, wacana yang terakhir inipun mengemuka dan bahkan menjadi arus utama pemikiran isu lingkungan kontemporer. Dari mulai pemerintah, politisi, aktivis, kalangan swasta, hingga industri-industri hiburan gencar memproduksi teks dan narasi pemanasan global dan perubahan iklim, sebagai wujud keprihatinan atas – sekaligus sarana politik dan ekonomi untuk – planet bumi di masa yang akan datang.
Dalam pandangan Peter Haas (2004), fenomena ini adalah fakta yang semakin menegaskan peran komunitas epistemik (epistemic community) dalam hal produksi pengetahuan dan pemanfaatan ruang kekuasaan untuk mempengaruhi proses-proses politik. Menurut Haas, wacana perubahan iklim, sejak dulu hingga sekarang tidak bisa dilepaskan dari pertalian seperti ini. Artinya, kalau kita menggunakan cara pandang dia, apa yang dinamakan fakta dan kebenaran pengetahuan seringkali memang menjadi bagian dari proses-proses politik yang sarat dengan kepentingan. Pandangan seperti ini juga dikemukakan oleh Michael Crichton dalam State of Fear (2007) yang secara lugas menganggap pengetahuan perubahan iklim tidak memberikan penjelasan yang cukup memadai terhadap penyelesaian persoalan, kalaupun persoalan itu memang ada; dan oleh karenanya, sering kali justru diadopsi oleh para elit untuk melakukan kontrol sosial (social order). Atas dasar itu maka diperlukan proses-proses sosial yang lain dalam rangka memproduksi kebenaran dan pengetahuan baru yang lebih bermanfaat – Haas menyebutnya sebagai usable knowledge.
Bagaimanapun, perubahan iklim kini telah menjadi isu yang mengemuka dan direspon oleh banyak kalangan, tidak hanya pemerintah, akan tetapi juga para pemangku kepentingan yang lain seperti sektor swasta, lembaga donor, akademisi, organisasi-organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil. Skenario perubahan iklim yang digambarkan melalui berbagai narasi besar, baik itu dokumen IPCCC, laporan Stern tentang dampak ekonomi perubahan iklim, An Inconvenient Truth Al Gore, The Day After Tomorrow Roland Emmerich, ataupun Avatar James Cameron, suka ataupun tidak, telah berhasil membangkitkan kekhawatiran, untuk tidak mengatakan ketakutan massal, terhadap nasib planet yang kita diami ini. Apalagi ketika berbagai media cetak maupun elektronik secara gencar memberitakan anomali-anomali cuaca yang terjadi akhir-akhir ini, seperti badai salju di Eropa, banjir yang melanda Asia selatan, kekeringan di Australia dan lain sebagainya, publikpun merasa bahwa perubahan iklim bukanlah sekedar wacana ataupun kebenaran politik semata, sebagaimana yang disinyalir Haas, akan tetapi realitas yang harus dihadapi bersama dan ditangani dengan seksama.
Peran negara-negara maju, lembaga donor, dan lembaga-lembaga moneter internasional dirasakan sangat besar dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim ini. Misalnya saja, bagaimana Amerika Serikat dengan gencar mengkampanyekan berbagai dampak buruk perubahan iklim melalui An Inconvenient Truth, pemerintah Inggris mengeluarkan laporan menggemparkan mengenai dampak perubahan iklim terhadap kinerja perekonomian global, Bank Dunia melakukan inisiasi-inisiasi penurunan emisi gas rumah kaca dengan skema REDD (Reducing Emition from Deforestation and Degradation), PBB mengeluarkan protocol UNFCCC sebagai bentuk komitmen bersama negara-negara di dunia untuk mengatasi perubahan iklim, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan rasanya kalau yang semula perubahan iklim hanya bergulat di tataran akademis, perlahan tapi pasti mulai memasuki wilayah-wilayah praksis, kalau pada awalnya dianggap konstruksi dan penjelasan ilmu pengetahuan terhadap fenomena alam, kini berubah menjadi arena negosiasi kepentingan politik-ekonomi Utara-Selatan (hal semacam ini kemudian sering disebut dengan istilah “geopolitik” perubahan iklim).
Pergeseran dan perubahan semacam itu sebenarnya sudah menjadi keniscayaan, ketika proposal penanganan perubuhan iklim menggunakan cara pandang Hobbesian: meletakkan negara sebagai aktor utama, untuk tidak mengatakan sebagai “Leviathan”, dengan asumsi negara adalah agen rasional yang mampu membangun kontrak sosial dan bersedia mengalokasikan sumber dayanya untuk menanggulangi kecemasan kolektif warganya. Berangkat dari asumsi dan cara pandang seperti inilah badan PBB, melalui kerangka kerja konvensi perubahan iklim (Convention on Climate Change,1992), memposisikan perubahan iklim sebagai masalah besar yang dihadapi negara-negara di dunia – dalam hal ini PBB tidak menyebut, atau sengaja menghindari, istilah perubahan iklim adalah masalah global. Pengejawantahan dari cara pandang ini adalah lahirnya Protokol Kyoto (1997) yang mewajibkan setiap negara mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) di dalam wilayahnya masing-masing. Dengan scenario seperti itu, kerangka penanganan perubahan iklim, secara tidak langsung, sedang didorong ke arah pendekatan top-down, hal yang sering kali justru dikritik oleh kalangan aktivis sosial dan lingkungan, karena menurut mereka, dalam isu perubahan iklim, negara adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Thomas Hass (2004) dengan retorika sinismenya mempertanyakan pendekatan semacam itu: sejak kapan kekuasaan mau mendengarkan kebenaran?
Sinisme Hass dan kritik kalangan aktivis itu seperti mendapat pembenaran ketika pemerintah Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju (annex.1), sekaligus penghasil emisi terbesar di dunia, bersikeras untuk tidak bersedia meratifikasi Protokol Kyoto, alias tidak bersedia menurunkan tingkat emisinya, dengan alasan tidak disyahkannya “climate bill” mereka di tingkat parlemen. Sesungguhnya bukan hanya Amerika Serikat yang melakukan itu, negara lain yang juga mengambil sikap sama adalah China dan India, hanya saja keduanya tidak termasuk ke dalam negara annex. 1, sebagaimana Amerika Serikat. Tindakan China, Amerika dan India pada Protokol Kyoto ini rupanya berdampak pada pengambilan sikap yang sama oleh Jepang dan Rusia pada COP 16 yang diselenggarakan di Cancun (Meksiko) pada 2010. Kedua negara itu mengambil posisi yang mengejutkan dengan menyatakan tidak ingin melanjutkan komitmen kedua pengurangan emisi pasca Protokol Kyoto, dengan alasan mereka mempunyai hak yang sama dengan Amerika. Karena sikapnya itu, Jepang dan Rusia kemudian dijuluki sebagai “Kill Kyoto” oleh kalangan aktivis lingkungan internasional.
Apapun faktanya, orkestrasi penanganan isu perubahan iklim kini telah berjalan sedemikian rupa sehingga nampaknya akan naif memandang isu tersebut adalah sebuah konstruksi sosial yang bisa dikesampingkan begitu saja. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, sudah barang tentu menjadi fokus perhatian berbagai kalangan internasional dalam hal isu perubahan iklim ini. Melalui model-model pengelolaan hutan lestari dan pencegahan-pencegahan degradasi serta deforestasi, Indonesia dipandang memiliki peluang yang besar untuk ikut berkontribusi dalam mengurangi dampak buruk perubahan iklim. Kendatipun demikian, tingginya laju degradasi dan deforestasi yang selama ini terjadi, baik karena pembalakan liar maupun konversi lahan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman justru memberikan ancaman yang sangat serius bagi peningkatan emisi karbon di udara. Pembukaan lahan gambut yang tidak terencana dengan baik juga dipandang ikut memperburuk situasi, mengingat tingkat emisi yang ditimbulkan dari lahan gambut relative tinggi. Itulah mengapa kemudian Indonesia seperti berada di persimpangan jalan, jika tidak mau dikatakan berada pada posisi paradox, dalam konstelasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim: di satu sisi negeri ini memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam penyerapan karbon di udara, di sisi yang lain juga menjadi penyumbang emisi yang tidak kecil, terutama akibat pembukaan lahan hutan yang tidak terencana dengan baik.
Posisi Indonesia yang bukan negara annex.1 dan memiliki luasan hutan terbesar ke 2 di dunia setelah Brazil, tapi justru di tingkat internasional menjadi penyumbang emisi terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat, Cina dan Uni Eropa, adalah fenomena yang patut dicermati dengan seksama. Kementrian kehutanan sebagai lembaga pemerintah yang memiliki otoritas resmi untuk mengelola hutan di Indonesia, suka ataupun tidak, perlu melihat kembali strategi dan pendekatannya, mengingat tingkat emisi nasional terbesar berasal dari sektor ini. Berdasarkan catatan dari Kementrian Kehutanan sendiri, tingkat emisi di sektor kehutanan mencapai kurang lebih 60% dari total emisi nasional – tapi kalau versi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tingkat emisi itu sebesar 75%. Karena itu tidak berlebihan kalau upaya penurunan emisi nasional yang oleh presiden SBY ditargetkan 26% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional, difokuskan pada sektor kehutanan. Pagu yang sudah ditetapkan untuk sektor kehutanan adalah 14% sampai dengan tahun 2020. Dari mana target penurunan emisi sebesar itu akan bisa dicapai? Pertanyaan inilah yang sampai dengan hari ini masih menjadi bahan perdebatan para pihak, mengingat tidak ada satu dokumenpun yang bisa dirujuk, bahkan Stranas REDD+ yang disusun oleh Bappenas bersama-sama dengan UN REDD juga tidak menunjukkan peta jalan yang jelas bagaimana mencapai target penurunan emisi di sektor kehutanan itu. Maka bisa dimaklumi kalau Satgas Perubahan Iklim yang berada di bawah Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mempertanyakan keseriusan upaya penurunan emisi di sektor kehutanan.
Saya kira pertanyaan Satgas itu masuk akal, mengingat target penurunan emisi nasional kini tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai komitmen belaka, karena sejak Mei 2010, pemerintah Indonesia terikat Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Norwegia. Kendatipun beberapa pihak, terutama sektor swasta, menganggap nilai kompensasi LoI itu terlalu kecil –kira-kira hanya sepersepuluh dari PDB sektor kehutanan di semester I tahun 2010 –, tidak berarti pemenuhan target nasional penurunan emisi itu bisa dikesampingkan begitu saja, karena disamping kita akan dipandang negative oleh kalangan internasional, juga akan kehilangan peluang untuk upaya perbaikan-perbaikan. Bagaimanapun, LoI bisa kita posisikan sebagai momentum untuk meningkatkan kinerja kehutanan nasional yang selama ini dipandang masih belum maksimal: tingkat deforestasi masih tinggi, penangangan pembalakan liar tidak tuntas, tumpang tindih perizinan kawasan, konflik tata ruang nasional, dan lain sebagainya. Bahwa kepentingan nasional harus tetap diutamakan saya kira satu hal yang tak bisa ditawar, tapi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan isolasi diri alias eksklusi dalam hiruk-pikuk isu perubahan iklim. Apa yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai management of paradox, yakni mengupayakan penurunan emisi dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi, saya kira bisa menjadi jalan keluar yang baik, sekaligus tantangan para bagi rimbawan dan segenap pemangku kepeingan di sektor kehutanan. Karena fakta empirisnya hutan memang bersifat mutually exclusive, untuk tidak mengatakan paradoks: di sana ada kepentingan ekonomi dan ekologi, di mana kita tidak bisa memilih salah satu kepentingan saja dan mengorbankan kepentingan yang lain; yang bisa kita lakukan adalah mencari titik optimum di mana keduanya bisa sama-sama diekspresikan secara proporsional.
Persoalannya adalah bagaimana mengekspresikan kepentingan itu, karena di tingkat praksis, apa yang dinamakan sebagai kepentingan nasional terkadang bisa diekspresikan dengan berbagai cara dan moda, tergantung dari siapa yang memegang otoritas. Sebagai contoh, kendatipun secara normatif segenap kementrian dan institusi poemerintah yang menangani isu perubahan iklim itu mengemban fungsi-fungsi koordinasi, faktanya fungsi-fungsi itu belum bisa berjalan dengan baik. Perbedaan otoritas, kepentingan, cara pandang (termasuk di dalaya school of thought), keluasan jaringan dan tentu saja kekuatan dukungan dari supra struktur, sejauh ini adalah kendala-kendala yang tidak mudah untuk diselesaikan. Maka tidak heran kalau kemudian yang muncul dalah ego sektoral dan ketegangan-ketegangan. Sudah barang tentu situasi semacam itu akan berimbas pada penempatan posisi tawar Indonesia dalam proses-proses negosiasi internasional yang diselenggarakan dari tahun ke tahun melalui apa yang kita kenal sebagai Conference of Party (COP).
Sejauh mana Indonesia mampu mendorong sistem keadilan dalam hal tanggung jawab negara-negara maju untuk mendukung negara-negara berkembang dalam pengurangan emisi global dan juga bantuan-bantuan finansial yang sifatnya tidak berupa utang? Sejauh mana Indonesia bisa memainkan peranan strategis dengan blok ASEAN nya? Dalam perspektif bagaimana Indonesia menterjemahkan komitmen pengurangan emisi melaui skema REDD+? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi sangat penting untuk diajukan, ketika kita tidak ingin hanya menjadi penari bagi irama genderang negara lain. Kritik kalangan swasta sebagaimana yang sudah dikemukakan di muka saya kira harus diterjemahkan dalam kerangka ini, bukan dalam kerangka upaya untuk melakukan “Moratorium Oslo”, satu wacana tandingan terhadap LoI yang disinyalir akan melakukan moratorium perijinan alih fungsi hutan.
Berangkat dari berbagai hal yang sudah dikemukakan di atas, nampaknya memang upaya melakukan reinventarisasi dan rekonfigurasi modalitas kita dalam konteks penanganan isu perubahan iklim adalah sesuatu yang mendesak untuk dilakukan, terlepas apakah isu perubahan iklim adalah sekedar fakta sosial sebagaimana yang disinyalir Haas dan Pettenger, ataukah isu itu memang fakta empiris sebagaimana yang diyakini Al Gore dan Stern. Fakta empirisnya boleh jadi masih menjadi perdebatan akademik di berbagai kampus dan pusat-pusat penelitian, akan tetapi fakta sosialnya tidak lagi bisa kita pungkiri: perubahan iklim kini telah menjadi agenda resmi bangsa-bangsa di dunia yang didukung oleh berbagai instrument politik, ekonomi, bahkan termasuk kebudayaan, kendatipun retorikanya diekspresikan dengan cara yang bermacam-macam. Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi nasional sebesar 26-41% sampai dengan tahun 2020 adalah satu pilihan posisi dalam menanggapi isu perubahan iklim, tetapi upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk di dalamnya menata kinerja sektor kehutanan dan lingkungan, barangkali sebuah keniscayaan hidup berbangsa dan bernegara, dengan ataupun tanpa LoI, ada ataupun tidak ada isu perubahan iklim. ***