Mediasi Sebagai Resolusi Konflik Tenurial
|Konflik tenurial semakin meluas
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Center For International Forestry Research (CIFOR) perihal konflik tenurial pada sector kehutanan di Indonesia sebelum reformasi dari tahun 1997-2003, tercatat ada 359 peristiwa konflik pada tingkat nasional sepanjang tahun tersebut. Dari keseluruhan kasus tersebut, 39% diantaranya terjadi di areal HTI (Hutan Tanaman Industri), 27% di areal HPH (Hak Pengelolaan Hutan), dan 34% di kawasan konservasi (Ichsan Malik, et al, 2014).
Data terbaru yang dirilis oleh KPA (2017) menyebutkan peningkatan konflik agraria dari 450 kasus pada tahun 2016 menjadi 659 kasus pada 2017, dengan luasan 520.491,87 hektare dan melibatkan 652.738 kepala keluarga. Dari data tersebut, sektor perkebunan masih menempati peringkat pertama sebanyak 208 kejadian. Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan sebanyak dua kali lipat luasan wilayah konflik di sektor ini. Di urutan kedua, luasan wilayah konflik terjadi di sektor kehutanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa monopoli penguasaan kawasan hutan menjadi salah satu penyebab maraknya konflik agraria yang melibatkan aktor swasta, negara, dan komunitas masyarakat di sekitar hutan.
Seluruh data tersebut di atas menunjukkan kepada kita semua bahwa konflik tenurial terus mengalami peningkatan baik dari segi jumlah maupun intensitasnya. Semua pihak bisa menjadi pendorong untuk berkembangnya konflik kekerasan yang massif. Upaya penegakan hukum yang sudah dan sedang dilakukan oleh para pemangku kepentingan sangat tidak efektif karena hanya menyelesaikan konflik dari perspektif hukum positif tanpa melakukan kajian yang mendalam terhadap apa yang menjadi akar konflik.
Medisasi sebagai solusi
Penegakan hukum bukanlah satu-satunya jalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan lahan di Indonesia. Adanya konflik tenurial biasanya melibatkan banyak pihak dan banyak actor yang berkepentingan atas lahan, oleh sebab itu penyelesaian dengan penegakan hukum terkadang tidak berpihak pada masyarakat kecil yang tidak cukup biaya untuk berproses dan berperkara di pengadilan. Pendekatan penegakan hukum juga menerapkan “win lost solution” dengan mekanisme pembuktian yang berdasarkan alat bukti yang sah. Hal tersebut tentu sangat tidak mungkin bagi masyarakat di pelosok negeri yang tidak memiliki bukti kepemilikan atas lahan.
Dalam menyelesaikan konflik tenurial, perlu adanya alternative-alternatif lain selain penegakan hukum salah satunya adalah penyelesaian konflik tenurial melalui mediasi konflik. Berdasarkan Pasal 1 (6) (7) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan Untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Pelaksanaan mediasi, bisa dilakukan di Pengadilan dengan dibantu oleh seorang mediator, bisa juga dilakukan di luar pengadilan.
Adanya kesepakatan perdamaian sebenarnya telah ada dasar hukum yang kuat bagi kedua belah pihak yang berkonflik. Akan tetapi, mengenai mediasi ini, banyak orang yang meragukan terkait dengan kekuatan hukumnya. Dalam kerangkan sistem hukum di Indonesia, sebenarnya sudah terdapat mekanisme untuk menguatkan kesepakatan perdamaian hasil mediasi, yakni dengan mengajukan gugatan (kesepakatan perdamaian) pada pengadilan negeri setempat. Setelah itu majelis hakim akan memeriksa dan akan mengukuhkan kesepakatan perdamaian hasil mediasi menjadi akta perdamaian. Dengan adanya akta perdamaian tersebut sama kuatnya dengan putusan pengadilan atas suatu perkara. Pengajuan gugatan (kesepakatan perdamaian) tersebut prosesnya lebih cepat.
Yayasan Javlec Indonesia inisisiasi mediasi konflik tenurial di Kampung Tepian Buah
Yayasan Javlec Indonesia yang bekerjasama dengan IRE serta Yayasan Kehati melakukan inisiasi penyelesaian konflik tenurial di Kampung Tepian Buah. Inisiasi ini dilakukan dengan memberikan pelatihan terkait dengan Assestmen dan Mediasi Konflik Tenurial. Melalui pelatihan yang dilakukan, masyarakat mendapatkan pengetahuan terkait penyelesaian konflik tenurial melalui jalur mediasi. Selain itu masyarakat juga langsung melakukan praktik mediasi yang dibantu seorang mediator. Dalam proses praktik yang dilakukan ternyata masyrakat telah mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menemukan tawaran tawaran perdamaian sebagai solusi atas persoalan yang ada.
Setelah diberikan pemahaman dalam pelatihan tersebut, Pemerintah Kampung Tepian Buah berinisiasi mengundang para pihak terkait untuk melakukan mediasi melalui forum dialog. Para pihak yang saat ini berkepentingan atas lahan/tenurial dikampung tepian buah adalah masyarakat dan PT Inhutani (unit labanan). Dalam pertemuan tersebut turut hadir perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, KPH Berau Barat, Akademisi dan para pihak lainya.
Dalam forum mediasi tersebut Masyarakat pekebun sawit di Kampung Tepian Buah menawarkan pelepasan kawasan sebagai skema resolusi konflik tenurial, hal ini dikarenakan keterbatasan akses sumber daya alam dan lahan yang terdapat di Kampung Tepian Buah. Sedangkan Pihak Inhutani I dan KPH Berau Barat menawarkan kemitraan sebagai skema penataan. PT Inhutani maupun KPH beralasan bahwa kemitraan merupakan skema paling ideal dalam rangka penataan kawasan.
Dalam forum tersebut, untuk mengakomodir kedua belah pihak terdapat ide perdamaian yaitu dengan mengkombinasikan skema kemitraan dan pelepasan. Hal tersebut dikarenakan pelepasan kawasan hutan, bisa jadi membutuhkan waktu panjang, oleh sebab itu, skema pelepasan bisa saja diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, disisi lain skema kemitraan tetap di bangun antara masyarakat penggarap dengan PT Inhutani (unit labanan) sebagai solusi atas illegalitas lahan yang dikelola masyarakat.(ipin)