Memotret Konsep dan Realitas PHBM Perhutani
|
Latar Belakang
PHBM merupakan gagasan baru yang ditawarkan dan diyakini sebagai bagian dari transformasi perhutanan sosial yang didesain dengan pola yang berbeda dengan pola sebelumnya. Berikut ini sketsa transformasi perhutanan sosial, desain subtansi dan implementasi PHBM secara normatif-ideal sebagaimana didengung-dengungkan selama ini.
Dasar implementasi PHBM pada awalnya adalah SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Setelah beberapa tahun berjalan SK tersebut diganti dengan surat keputusan baru untuk memperbaiki implementasi PHBM. Pertama adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Plus. Dan yang paling baru adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 682/KPTS/Dir/2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Pada mekanisme penerapan PHBM sebagai sebuah model tata pengurusan hutan (forestry governance model), berikut adalah pilar-pilar penting di dalamnya yaitu; kelembagaan masyarakat, mekanisme kerjasama dalam bingkai kemitraan, dan manajemen konflik. Pada pilar kelembagaan masyarakat, beradanya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) kemudian ditempatkan sebagai keharusan dalam konteks pihak—kelembagaan—yang menjadi mitra utama pada implementasi PHBM. LMDH sendiri didisain mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai mekanisme penyelenggaraan lembaga baik secara internal, maupun dalam konteks keperluan eksternal dengan Perhutani atau pihak lain. Dari sini, mustinya kita bisa dapati bahwa kedudukan LMDH adalah independen dan semata-mata merupakan representasi kepentingan MDH yang bersangkutan.
LMDH merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa hutan, yang berbadan hukum, dan mempunyai fungsi sebagai wadah bagi MDH untuk menjalin kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan ini dalam mekanisme kerjasama mengasumsikan bahwa kedudukan LMDH adalah sederajat dan setara (equal) dengan Perhutani melalui konsensus yang disepakati di antara keduanya dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus ditunaikan bersama-sama. Termasuk yang paling penting adalah pedoman berbagi antara LMDH dan Perhutani yang ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi oleh masing-masing pihak pada saat penyusunan rencana. Selanjutnya untuk menguatkan daya mengikat konsensus itu, maka penetapan nilai dan proporsi berbagi harus dituangkan ke dalam perjanjian PHBM. Barang tentu hal ini di samping menjadi jaminan kepastian hukum bagi para pihak, juga diharapkan menjadi instrumen yang dapat melindungi posisi pihak yang lemah dari sisi eksistensi politis; yaitu LMDH, sehingga keadilan juga dapat disentuh secara substantif.
Di samping itu, melalui pendekatan yang partisipatif dan dialogis yang dipilih dalam menjembatani kepentingan di dalam pengelolaan hutan, maka pada konteks manajamen konflik, kontribusi PHBM akan menjadi begitu signifikan mengingat metode polisional (security approach) tidak lagi dikedepankan. Melalui intensitas interaksi yang cukup tinggi antara LMDH dan Perhutani menjadikannya persoalan-persoalan dalam pengelolaan hutan—tidak saja dalam aras teknis operasionalisasi PHBM, tetapi seluruh aspek tenurial—mustinya secara komprehensif juga dapat terselesaikan.
PHBM: Antara Norma & Realita
Keberadaan Perhutani sebagai institusi yang memperoleh mandat untuk mengelola sebagian besar hutan negara di Pulau Jawa tidaklah hadir secara tiba-tiba. Terdapat sekuensi sejarah yang cukup panjang yang berandil peran dalam proses ekspolitasi sumberdaya hutan Jawa sebelumnya, sebelum kemudian muncul Perhutani. Dalam konteks perjalanan panjang riwayat ekspolitasi tersebut, tentulah mengemuka persepsi dan penilaian yang pada umumnya berada pada rentang garis kesimpulan bahwa pengelolaan hutan bebasis negara (state based forest management) tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Yaitu masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara yang pemenuhan kebutuhan hidupnya memang harus tergantung dari sumberdaya hutan.
Dalam cara pandang (baca: paradigma) pengelolaan hutan berbasis negara, peran representasi negara (penguasa) tidak lebih dari sekedar untuk memenuhi kepentingan dirinya. Sebagaimana Peluso (1992) mengisahkannya tatkala Daendels pada 1808 mengintroduksi kebijakan monumental di Pulau Jawa berupa: menyatakan kawasan hutan sebagai tanah negara (landstaatdomein); otoritas pengelolaan hutan ada pada jawatan (Dienst Van het Boschwezen) yang memang dibentuk untuk itu; mengintroduksi pendekatan teknis rotasi tebang yang disesuikan dengan pembagian petak kawasan; dan mencegah masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan untuk mengakses hasil hutan. Oleh karenanya menjadi tidak mengherankan, untuk mengamankan kepentingannya, maka dalam pelaksanaan eksploitasi sumberdaya hutan ini kemudian harus dilakukan secara tertutup dan sentralistik.
Tentu pada konteks masa itu, cukup alasan bagi kita untuk bisa secara sederhana memahaminya. Namun pada era pasca kolonial, pengelolaan sumberdaya hutan oleh representasi negara mustinya dilakukan dalam rangka memfasilitasi tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan dalam pengertian ‘untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ setidak-tidaknya diindikasikan dengan meningkatnya taraf kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan negara. Dalam hal ini adalah kehidupan sosial-ekonomi dalam penafsiran bahwa masyarakat setempat mempunyai keleluasaan untuk dapat mengakses sumberdaya hutan oleh karena keberadaan representasi negara memang diamanatkan untuk mengelola secara demokratis dan transparan, serta bertanggungjawab secara sosial-ekologis. Sebagaimana konstitusi mengamanatkannya demikian. Terlebih Perhutani sebagai BUMN yang dari awalnya dikreasikan sebagai perusahaan kehutanan yang tidak berorientasi profit semata-mata. Oleh sebabnya dikerangkakan dalam bentuk perusahaan umum (Perum).
Melalui kesadaran bahwa pengelolaan hutan berbasis negara tidak banyak memberikan tempat yang berarti bagi masyarakat setempat untuk turut berperan secara konkrit, itulah sebabnya kemudian mengemuka gagasan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management/CBFM). Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam keberadaannya sebagai cara pandang (paradigma) kemudian diposisikan dalam rangka untuk menavigasikan praktek pengelolaan hutan, dalam hal ini melalui instrumen kebijakan.
Dalam realitanya, praktek-praktek pengelolaan hutan yang bernuansa CBFM itu sendiri sesungguhnya berada pada rentang derajat—masyarakat sebagai pelaku—yang relatif lebar. Mulai dari derajat yang tertinggi dimana masyarakat adalah pemegang kontrol dan otoritas sepenuhnya atas sumberdaya hutan yang dikelolanya, hingga pada derajat yang paling rendah yaitu masyarakat sekedar diberikan ruang kelola di dalam kawasan hutan dengan tetap dibatasi peran partisipasi dalam penentuan keputusan. Atau bisa juga dikatakan sekedar untuk mengakomodasi formalitas bahwa ada tanda-tanda masyarakat mulai terlibat menjadi pelaku kelola di lapangan.
Pada lebarnya rentang derajat keterlibatan masyarakat sebagai pelaku kelola sumberdaya hutan tersebut, setidaknya paradigma CBFM merupakan kompas pemandu—dengan peran magnetiknya—bagi kebijakan-kebijakan tertentu agar semakin mendekatkan pada realisasi arti bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu pula dengan Perhutani—yang dibentuk sejak tahun 1972 melalui PP No. 15/1972 jo. PP No. 2/1978—yang sebenarnya telah mengintroduksi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) yang didalamnya terdapat program tumpangsari, pembangunan/pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) hingga tahun 1990-an, dan kemudian pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) pada awal tahun 2000-an silam. Terlepas dari, sekali lagi, seberapa tinggi derajat ke-CBFM- annya dari kebijakan Perhutani tersebut. Namun demikian, bagaimanakah sesungguhnya konsistensi Perhutani mengikuti daya magnetik paradigma CBFM tersebut sekarang ini?
Ingkar-Mungkir Perhutani terhadap paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Tuntutan agar masyarakat semakin berperan dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh institusi kepanjangan tangan negara sudah sangat jelas dan menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan. Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia juga telah diarahkan untuk dilaksanakan dengan paradigma atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Kusdamayanti, 2008). Dengan paradigma ini masyarakat didorong untuk mempunyai peran lebih besar dan berarti dalam pengelolaan hutan.
Selama ini peran masyarakat seringkali hanya ditempatkan dalam proses implementasi kebijakan, sedangkan dalam proses penyusunan dan evaluasi kebijakan peran masyarakat masih sangat terbatas, bila tidak hendak dikatakan tidak ada (Kusdamayanti, 2008). Sebagai subyek dari kebijakan seharusnya masyarakat mempunyai peran yang besar sejak penyusunan kebijakan hingga evaluasi kebijakan. Namun hal ini tentu saja tidak mudah untuk dilaksanakan. Selain memerlukan reposisi peran negara melalui adanya kerelaan negara untuk mau berbagi peran, di sisi lain masyarakat harus pula ditingkatkan kemampunannya agar dapat melaksanakan perannya sebagaimana yang diharapkan.
Dalam kesempatan ini, keberadaan kajian ini tidak muluk-muluk melihat mengenai bagaimana masyarakat dilibatkan perannya di dalam formulasi kebijakan pengelolaan hutan oleh Perhutani. Disamping memang tidak ada keterlibatan masyarakat di dalam perumusan kebijakan tersebut, juga karena ranah perumusan kebijakan PHBM berada pada domein top-down Perhutani sebagai perusahaan. Sebaliknya, kajian ini lebih memotret mengenai bagaimana PHBM sebagai kebijakan yang dipandu oleh paradigma CBFM dalam perjalanannya justru terdapat gelagat untuk diingkari.
Sebagaimana kita ketahui bahwa PHBM merupakan puncak dari “paling tebalnya” warna paradigma CBFM yang diakomodasi Perhutani sejak tahun 2001 melalui SK Dewan Pengawas No. 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (menggantikan SK Direksi No. 1061/Kpts/Dir/2000), kemudian SK Direksi No. 268/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS), dan terakhir SK No. 682/Kpts/Dir/2009 tentang Pedoman PHBM. Tetapi belakangan kini dijumpai inkonsistensi dari berbagai kebijakan—pada level yang sama—yang justru menegasikannya.
Salah satunya adalah kehadiran SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 jo. SK Direksi No. 433/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani, yang didalamnya mengintroduksi kelembagaan yang disebut sebagai Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM). KBM merupakan satuan unit organisasi di bawah Kantor Unit yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengelolaan usaha bisnis Perusahaan secara mandiri untuk meningkatkan pendapatan Perusahaan. Pada wilayah inilah perkara inkonsistensi terhadap kebijakan PHBM ini kemudian muncul. Terutama ketika General Manager (kepala satuan unit KBM) mempunyai otoritas yang relatif otonom dalam menterjemahkan kerjasama bisnis kemitraan dengan pihak lain—dalam maksud yang berorientasi pada sebesar-besarnya keuntungan untuk Perusahaan—yang dengan demikian menabrak dan mengorbankan semangat PHBM. Meskipun toh secara normatif dapat saja berkilah bahwa kerjasama dengan pihak lain juga dapat merupakan pihak LMDH. Sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 19 SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 jo. SK Direksi No. 433/Kpts/Dir/2007 yang secara luas memberikan batasan, bahwa pihak lain adalah badan usaha berbentuk BUMN, BUMD, Koperasi, swasta, serta organisasi kemasyarakatan atau perorangan.
Praktek KBM dikatakan memungkiri semangat PHBM karena di dalam realisasinya bentuk-bentuk usaha yang dinisiasi oleh Perusahaan dengan pihak lain—disamping meninggalkan LMDH—banyak dilakukan di dalam (berbasis) kawasan hutan yang notabene/mustinya merupakan medium esensi dari wujud PHBM. Karena apa jadinya bila lahan kawasan hutan negara diklaim oleh Perhutani sebagai asset Perusahaan yang potensial “dikomersialkan” dengan kemudian menafikan aspek sosial dan lingkungan? Terlebih, bukankah lahan kawasan hutan negara dari tertib hukum administrasi pertanahan merupakan tanah yang tidak terbebani dengan alas hak penguasaan (baca: sertifikat hak atas tanah)? Sehingga, legitimasi Perhutani untuk mengalihkan hak penguasaan atas lahan kawasan hutan negara kepada pihak lain pun boleh jadi sarat problematika.
Contoh kasus terjadi di kawasan wisata Baturaden, Banyumas yang dikelola oleh salah satu anak perusahaan Perum Perhutani yaitu PALAWI (Perhutani Alam Wisata). Dalam hal pengelolaan obyek wisata Baturaden, LMDH-LMDH di dalam obyek wisata ini tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, pengelolaan, maupun penerimaan hasil dari pengelolaan obyek wisata ini. Padahal, semua wilayah obyek wisata Baturaden secara administratif telah habis terbagi dalam wilayah pangkuan desa yang juga sekaligus masuk dalam kawasan kerjasama PHBM. Contoh lain yaitu penanaman jagung di KPH Mantingan yang jumlahnya berhektar-hektar dengan menggandeng investor yang secara kebetulan merupakan oknum DPRD Kabupaten Rembang. Lokasi penanaman jagung tersebut masuk dalam wilayah kerjasama PHBM, dan LMDH setempat juga tidak pernah dilibatkan di dalamnya.
Dalih hukum yang selalu dijadikan rujukan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Secara umum, dalam PP pendirian Perum Perhutani yang paling baru tersebut, cenderung membuka lebar usaha kehutanan di luar sektor kehutanan yang mengarah pada kerjasama dengan investor sekaligus semakin meninggalkan LMDH sebagai patner utama dalam spirit CBFM. Dapat dikatakan, munculnya PP Nomor 72 tahun 2010 telah secara sengaja hendak memberikan basis legalitas Perum
Perhutani untuk menempatkan tanah hutan seoptimal mungkin guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan atau tanpa menanam pohon di tanah hutan, serta dengan atau tanpa melibatkan masyarakat desa hutan.
Praktek KBM juga dikatakan meninggalkan LMDH karena faktanya bentuk-bentuk kerjasama usaha jelas lebih memilih pihak lain yang secara basis ekonomi lebih menjanjikan. Celakanya, isu yang menjadi pokok kerjasama usaha belum tentu tidak selalu di luar kemampuan LMDH. Menurut salah satu pejabat penting di Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, pengembangan hutan rakyat di tanah milik masyarakat murni merupakan upaya Perum Perhutani untuk memperoleh pendapatan tambahan dari luar kawasan hutan. Skema yang dipakai yakni kerjasama Perum Perhutani dengan warga desa atau kerjasama Perum Perhutani, investor, dan warga desa untuk penanaman serta pemasaran kayu dari hutan rakyat. Perum Perhutani bermaksud mengambil peran dominan dalam trading kayu rakyat. Dalam konteks KBM, pengembangan hutan rakyat termasuk dalam KBM Pemasaran. Di semua desa hutan yang telah memiliki LMDH telah dan akan terus dibentuk kelompok tani hutan rakyat. Tujuan dari pembentukan kelompok tani hutan rakyat ini untuk memudahkan koordinasi serta kontrol pengembangan hutan rakyat guna bekerjasama memberikan pasokan kayu rakyat kepada KBM Perum Perhutani yang pada dasarnya untuk menambah pendapatan dari luar kawasan hutan.
Praktek lapangan yang tidak kalah kontroversialnya yaitu pembentukan koperasi di masing-masing desa hutan. Koperasi ini merupakan lembaga terpisah dari LMDH. Koperasi dibentuk oleh Perum Perhutani dan menempatkan waker, mandor, ataupun mantri kehutanan masuk dalam kepengurusan. Tujuan normatifnya yaitu untuk mendistribusikan kesejahteraan melalui usaha-usaha koperasi baik untuk usaha di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Tujuan praktisnya yaitu untuk memberikan peluang akses modal bagi para waker, mandor, ataupun mantri untuk dapat mengakses bantuan baik hibah maupun pinjaman yang sedianya akan dikucurkan oleh Perum Perhutani maupun Pemerintah kepada koperasi ini. Langkah ini merupakan upaya naif dari Perum Perhutani untuk mensejahterakan pegawai lapangan Perum Perhutani dengan meminjam kelembagaan yang sejatinya milik masyarakat desa hutan (koperasi). Selain itu, pendirian koperasi di desa-desa hutan banyak yang menimbulkan persoalan berupa friksi politis antara pengurus LMDH dengan Koperasi serta dengan kelompok tani hutan rakyat yang ketiganya dibentuk sendiri oleh Perum Perhutani.
Pada dasarnya, terdapat 3 praktek lapangan pengembangan usaha Perum Perhutani yang kontra produktif dengan pelaksanaan PHBM di mana di dalamnya seharusnya mengarusutamakan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pendirian KBM telah menegasikan esensi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sementara itu, pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan merupakan langkah bisnis yang sangat arogan serta paradok dengan sikap Perum Perhutani terhadap hutan rakyat beberapa tahun silam. Sementara itu, pendirian koperasi yang belum memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Alih-alih memberikan kontribusi kesejahteraan, bahkan di beberapa desa di wilayah timur Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, pembiayaan pendirian koperasi berupa pengurusan akta notaris di tanggung oleh masyarakat desa hutan sendiri.
Realisasi PHBM: menggenapkan keraguan dari kesungguhan Perhutani
Selain terkait dengan adanya inkonsistensi dalam manifestasi paradigma CBFM yang nampak dari reduksi makna kebijakan PHBM di atas, pada dasarnya Perhutani juga setengah hati di dalam mengimplementasikan kebijakan teknis PHBM itu sendiri. Hal ini Nampak dari adanya kesenjangan antara harapan normatif kebijakan PHBM dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Konteks disparitas antara norma dan realita, dipaparkan dalam bacaan PHBM sebagai model of forestry governance, melalui tiga aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek kemitraan, dan aspek manajemen konflik.
a. Kesenjangan Norma dan Realita Kelembagaan
Gagasan PHBM, yang mengandaikan adanya ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam tata kelola hutan, membuka peluang bagi hadirnya LMDH. Organisasi ini didesain sebagai ruang representasi masyarakat akar rumput yang diharapkan akan mampu memainkan fungsi-fungsi intermediari yang menjembatani (linkage) antara masyarakat dengan Perhutani dan pemangku kepentingan yang lain sehingga tujuan PHBM untuk mewujudkan kesejahteraan dan mengelola konflik dengan baik bisa terwujud.
Dalam tataran yang lebih konkrit, LMDH didesain untuk terlibat lebih jauh dalam proses perencanaan dan implementasi PHBM. Bersama Perhutani dan pemangku kepentingan yang lain, LMDH diharapkan akan terlibat lebih jauh dalam proses perencanaan tata kelola hutan. Ketika implementasi PHBM, LMDH bukan hanya diposisikan sebagai ruang bagi penguatan kapasitas bagi sumberdaya petani hutan dalam proses produksi dan pasca produksi hasil hutan yang akan berujung pada kesejahteraan, namun juga LMDH menjadi mitra Perhutani dalam memastikan keamanan hutan dan stabilitas sosial di sekitar hutan bisa berjalan dengan baik.
Pada saat yang sama, Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) didorong kehadirannya sebagai sarana komunikasi antar pihak dan pendukung dalam pelaksanaan PHBM. Forum ini dibentuk di setiap level pemerintahan, mulai dari Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan,Pemerintah Kabupaten hingga Pemerintah Provinsi. Secara normatif, forum ini didesain untuk menjembatani ruang komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam PHBM dengan pihak pemerintah. Bila diuraikan lebih detail, peran forum ini adalah (1) Mengkoordinasikan dan menjabarkan secara operasional kegiatan PHBM, (2) Melaksanakan bimbingan,pendampingan, memantau dan mengevaluasi hasil kegiatan dan perkembangan PHBM, (3) Melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan PHBM sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing, (4) Menyampaikan hasil laporan kegiatan tersebut kepada semua pihak yang berkepentingan (SK Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007).
Namun LMDH ternyata gagal menjadi arena intermediari yang mencerminkan kepentingan masyarakat akar rumput. Hal ini terjadi karena seringkali diawali oleh proses pembentukan yang diintervensi oleh Perhutani sehingga terkesan formalistik. Proses pembentukan dan posisi kepengurusan tidak dilahirkan dari kesepakatan bersama warga, oleh kerana tidak jarang di-by pass dan lebih mencerminkan kehendak Perhutani. Maka sangat wajar apabila, dalam banyak kasus, LMDH gagal menjadi representasi yang sebenarnya dari masyarakat yang paling berkepentingan dengan tata kelola hutan, yaitu: petani hutan. Bisa dikatakan, dalam LMDH, representasi petani hutan tidak ada dan LMDH lebih banyak dikuasai oleh elit formal, seperti perangkat desa, pengurus Badan Permusyawaratan Desa (BPD), guru, birokrat yang tinggal di desa, dsb. Tidak jarang pula tokoh informal, seperti preman, masuk menjadi bagian dari LMDH.
Alhasil, banyak pihak yang merasakan bahwa LMDH tidak lebih dari kepanjangtangan Perhutani daripada benar-benar menjadi institusi representasi popular di dalam masyarakat. Dalam proses perencanaan, Bukannya mendorong proses negosiasi setara antara petani hutan dengan, khususnya, Perhutani dalam rangka mewujudkan konsensus atau kepentingan bersama, LMDH malah lebih sering menunjukkan sub-ordinasi sehingga kesan mudah
berkompromi dengan kepentingan Perhutani tidak bisa dihindari. Sedangkan dalam proses implementasi PHBM, LMDH justru lebih menunjukkan dirinya sebagai wakil Perhutani. Usaha-usaha komunikasi intens dengan masyarakat di akar rumput sebagai basis LMDH justru tidak banyak dilakukan.
Sebagai pihak yang satu-satunya memiliki klaim otoritatif sebagai wakil masyarakat akar rumput dalam PHBM dalam proses produksi, pemasaran dan industri serta keuangan hasil hutan, LMDH justru menjadi arena korupsi dan pemburu rente baru. Banyak kasus menunjukkan, bagi hasil yang ada tidak pernah dikomunikasikan secara transparan kepada masyarakat di akar rumput serta tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas sehingga praktik korupsi tidak terhindarkan. Bagi hasil yang ada menjadi bancakan diantara pengurus sehingga aktivitas-aktivitas buru rente (rent seeking) tidak terhindarkan. Dalam beberapa kasus terkesan hanya menjadi penyalur tenaga kerja (pesanggem) daripada melakukan pemberdayaan dan penguatan kapasitas petani hutan dan tidak jarang hanya menjadi pemborong pekerjaan Perhutani.
Masih kuatnya pendekatan keamanan daripada upaya resolusi konflik dalam praktek PHBM, membuat LMDH tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk memediasi konflik-konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang ada. LMDH tidak cukup pro-aktif dalam mengelola konflik dan justru terkesan menghindari proses-proses negosiasi dalam mengelola konflik keseharian. Kesan kuat yang kemudian muncul adalah LMDH merupakan “mata-mata” perum Perhutani yang masih menggunakan cara-cara kriminalisasi dan koersif untuk menyelesaikan masalah konflik Sumberdaya Daya Hutan (SDH).
Kehadiran FK-PHBM juga tidak cukup membantu menjembatani komunikasi masyarakat dengan pemerintah. Hal ini terbukti dalam banyak kasus konflik pengelolaan hutan, negara sama sekali absen. Keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan petani hutan juga diragukan.
b. Kesenjangan Norma dan Realita Kemitraan
Sebagai sebuah model pengurusan hutan (forest governance), PHBM mengidealkan masyarakat (baca: LMDH) ada pada posisi yang sejajar sebagai mitra dengan Perhutani dalam payung kerjasama PHBM. Bentuk-bentuk kerjasama antara LMDH dan Perhutani mustinya merupakan turunan kesepakatan yang dibuat bersama atas dasar kesadaran hak dan kewajiban yang setara.
Namun demikian, yang terjadi dalam realita adalah sebaliknya. Nota kesepahaman (MoU ) yang selanjutnya meningkat menjadi perjanjian kerjasama lebih banyak secara sepihak ditentukan oleh perhutani sendiri. Melalui persekongkolan dengan elit LMDH memanipulasi klaim partisipatif dan representasi, dengan mem-by pass mekanisme dan menentukan proses tiba-tiba butir-butir perjanjian telah terumuskan dan dituangkan ke dalam akta notaris. Kalaulah di dalam perjalanan proses perumusan butir-butir kesepakatan di dalam perjanjian kerjasamaterdapat kemungkinan LMDH untuk melakukan revisi, namun toh yang terjadi tidak demikian karena seringkali materi di dalam akta notaris tidak juga lantas mengakomodasi.
Begitu pula ketika realisasi perjanjian kerjasama yang merupakan hasil kesepakatan antara LMDH dan Perhutani. Pola kerjasama yang seharusnya mengacu pada Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) pada prakteknya lebih sering diingkari dan dilaksanakan sesuai dengan selera Perhutani, dengan alasan bahwa Perhutani telah menetapkan Rencana Teknik Tahunan (RTT). Lebih-lebih ketika secara internal di tubuh Perhutani terjadi mutasi pejabat yang berpengaruh pada teritori/lokasi SPKS terkait.Tidak jarang dengan ganti pejabat akan membawa konsekuensi berubahnya berubahnya realisasi PHBM di wilayah yag bersangkutan. Dengan demikian, SPKS tidak lebih sekedar merupakan “macan kertas” karena tidak bisa menjadi acuan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi LMDH. Sehingga tidak saja dari rumusan substansi, tetati juga pada realisasi perjanjian senantiasa akan sedemikian rupa selalu mengutamakan kepentingan perusahaan; yaitu Perhutani.
Termasuk yang juga tidak kalah penting mengenai implementasi konsep berbagi dalam skema PHBM (Plus) yang idealnya harus ditentukan dan direalisasikan atas konsensus bersama. Bagi hasil yang normatifnya harus didasarkan pada nilai dan proporsi yang dikontribusikan antara kedua belah pihak dalam prakteknya jarang bisa berjalan dengan baik. Melalui klaim argumentasi bahwa Perhutani merupakan pihak yang lebih besar porsi kontribusi pada faktor produksi lahan, kemudian seringkali mengintimidasi MDH bahwa Perhutani memiliki hak yang juga relatif besar—tidak hanya kayu—pada bagi hasil komoditas tanaman non kehutanan. Demikian juga sebaliknya, dalam hal perhitungan nominal bagi hasil yang mustinya menjadi bagian (hak) LMDH, kerapkali tidak ada transparansi kalkulasi yang akuntabel. Dan biasanya data dan informasi cukup menjadi pengetahuan Perhutani dan elit pengurus LMDH sendiri.
c. Kesenjangan Norma dan Realita Manajemen Konflik
Karena konflik menjadi hal yang seringkali tidak terhindarkan dalam pengelolaan hutan di Jawa, maka PHBM diyakini sebagai mekanisme tata kelola hutan yang bisa meminimalisasi konflik. Agar konflik pengelolaan sumberdaya hutan bisa dihindari maka gagasan PHBM dikembangkan dengan beberapa prinsip-prinsip dasar seperti keterbukaan, kebersamaan, sinergi, saling memahami dimana proses-proses supervisi, monitor, evaluasi dan pelaporan dikelola secara kolaboratif oleh antar pihak. Dengan kata lain, ada itikad baik untuk menghindari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam proses manajemen konflik yang cenderung koersif.
Namun perubahan yang berarti tampaknya tidak muncul. Upaya kriminalisasi terhadap petani hutan di kawasan hutan di Jawa masih tetap berlangsung. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, ARUPA dan LBH Semarang menemukan bahwa Perhutani telah menganiaya, mencederai, dan menembak setidak-tidaknya 108 warga desa sekitar hutan yang dianggap/diduga mencuri kayu atau merusak hutan, 34 diantaranya tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 lainnya luka-luka. Dari 64 kasus penganiayaan dan penembakan ini sebagian besar diselesaikan tanpa proses hukum semestinya.
Kondisi yang memprihatinkan ini berlangsung karena penyelesaian masalah dalam desain subtansi dan implementasi masih menggunakan pendekatan keamanan. Dalam desain normatif PHBM istilah keamanan masih dikemukakan sedangkan istilah transformasi dan resolusi konflik tidak pernah digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa nalar pendekatan keamanan yang lebih banyak berada dalam alam pikir aparat Perhutani dan birokrasi negara. Akibatnya, dalam praktek PHBM, ketika konflik dalam pengelolaan SDH termanifestasikan maka pilihan kriminalisasi dan intimidasi yang didahulukan.
Maka sangat wajar apabila riak-riak konflik pada aras vertikal, terutama antara petani hutan dan Perhutani masih sering terjadi. Intensitas konflik vertikal ini gagal diminimalisasi dan tidak jarang mengalami proses eskalasi dan melibatkan aksi-aksi yang sangat massif.
Pada saat yang sama konflik di aras horisontal mulai laten terbentuk dan sangat mungkin termanisfestasikan apabila gagal terkelola dengan baik. Konflik di aras horisontal muncul karena semakin rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap PHBM serta adanya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat akar
rumput terhadap para pengurus LMDH. Akibatnya ketegangan yang tinggi antara pengurus LMDH dengan masyarakat atau petani hutan menjadi kerapkali muncul.
Kegagalan dalam mengelola konflik pengelolaan SDH juga dipicu oleh kesalahan mengidentifikasi sumber-sumber kelangkaan (scarecity) yang menjadi pemicu terjadinya konflik. Selama ini, isu manajemen konflik hanya diisolasi pada isu tanaman semata. Isu-isu yang lebih krusial dan justru hal yang lebih dasar dalam proses konflik, seperti kepemilikan tanah, hak atas tanah, serta pengakuan atas eksistensi kelembagaan lokal dan tata kelola hutan yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat, justru terabaikan.
Ironisnya, negara menjadi pihak yang tidak berpihak kepada petani hutan bila terjadi konflik yaitu ketika negara selalu absen dan tidak pro-aktif untuk menyelesaikannya. Yang kerapkali terjadi adalah negara justru diserap atau dikooptasi oleh Perhutani sehingga kepentingan perusahaan lebih dikedepankan daripada kepentingan publik bersama.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari uraian di atas tampak jelas ada gap antara konsepsi yang diidealkan dan praktek konkrit (realitas) dalam implementasi PHBM di kawasan hutan di Jawa. Beberapa hal yang teridentifikasi sebagai penyebab ‘kegagalan’ implementasi PHBM antara lain:
• Dengan sering terjadinya perubahan kebijakan PHBM dan juga adanya pertentangan sejumlah klausul seperti mengenai bagi hasil menunjukkan bahwa PHBM mengandung masalah yang bersumber pada kebijakan.
• Sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta skill mengenai kebijakan dan implementasi PHBM juga tidak dilakukan secara intensif sampai pada tingkat lapangan. Bahkan beberapa pegawai tingkat menengah Perhutani sering kali tidak mau mengakui/mengetahui keberadaan SK Perhutani yang baru.
• Berbagai program baru yang muncul belakangan setelah PHBM juga telah menyebabkan PHBM tidak lagi menjadi hal yang utama dalam pengelolaan hutan oleh Perhutani. Sebagai contoh, upaya untuk mendorong KPH mempunyai kemandirian terutama dalam financial telah menyebabkan para Administratur lebih memprioritaskan kegiatan-kegiatan bersifat profit dari pada program-program orientasi sosialnya kuat seperti PHBM.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah terjadi suatu upaya yang sebenarnya cukup sistematis telah menjadikan PHBM tidak cukup berhasil. Oleh karena itu dibutuhkan tawaran kebijakan agar proses pengelolaan hutan di Jawa benar-benar mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan dikelola secara dialogis atau berbasis konsensus para pihak yang berkepentingan.
Opsi Pertama: Memperbaiki Instrumen Implementasi PHBM dalam Tata Kelola Hutan Jawa
PHBM masih diyakini sebagai sebuah gagasan yang masih tetap relevan. Desain subtansi PHBM yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan lain justru fondasi penting. Mekanisme PHBM yang berbasis kemitraan, konsensus dan kolaborasi merupakan gagasan yang perlu terus dikedepankan.
Sedangkan desain proses juga bukanlah hal yang bermasalah karena telah memberikan peran dan fungsi masing-masing aktor sesuai dengan kapasitas dan porsinya. Bahkan, secara normatif, peran yang ada sudah dirumuskan dengan baik sebagaimana berikut: (1) Pemerintah Daerah. Memainkan fungsi fasilitasi berjalannya proses sinergi antara negara, masyarakat dan sektor privat di ranah tata kelola pemerintahan lokal, (2) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM diharapkan memainkan peran penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, (3) Lembaga Ekonomi Masyarakat. Lembaga ekonomi masyarakat berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat, (4) Lembaga Sosial Masyarakat. Lembaga sosial masyarakat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas, (5) Usaha swasta. Usaha swasta berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal, (6) Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada PHBM, dan (7) Lembaga Donor, berperan untuk memberikandukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di PHBM (CIRAD-CIFOR-FKH UGM-Perum Perhutani).
Strategi ini dimulai dengan mendorong sosialisasi lebih intens tentang skema PHBM dalam tata kelola hutan Jawa. Informasi tentang PHBM selama ini ternyata tidak selalu bisa terkomunikasikan dengan baik, bahkan terhadap aparat Perhutani terutama mereka yang menjadi ujung tombak di lapangan (street-level bureaucracy). Maka tidak mengherankan apabila gagasan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDH bagi mereka tampaknya asing. Diseminasi informasi juga diperlukan bagi pemangku kepentingan yang lain, seperti birokrasi di pemerintahan daerah, aparat desa, tokoh masyarakat hingga petani hutan.
Pada aspek regulasi, perlu penguatan adanya penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak/Juknis) detail—bukan hanya prinsip-prinsip dasar—yang bisa menjadi panduan pelaksanaan PHBM di lapangan. Panduan tersebut akan menjadi standar acuan utama sehingga bisa menjadi pijakan apakah tindakan yang ada di lapangan sudah sesuai dengan prosedur atau tidak. Segala bentuk penyelewengan akan mudah terlihat dari ketidakpatuhan pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tersebut.
Selain itu, ada juga kebutuhan untuk mendorong penguatan kapasitas, khususnya teknokratis dan komunikasi LMDH. Kapasitas teknokratis ini penting agar pengurus LMDH mampu menyusun dan memahami berbagai dokumen, kontrak, dan surat-surat kerjasama yang pasti akan selalu ada terutama dalam konteks bagi hasil. Pada saat yang sama, kapasitas komunikasi LMDH dalam konteks antar LMDH maupun LMDH dengan institusi-institusi yang lain juga penting untuk dikembangkan.
Opsi Kedua: Peluang Diskresi Proses Implementasi PHBM dalam Tata Kelola Hutan Jawa
Pada dasarnya tidak ada masalah dalam desain PHBM namun dalam proses implementasi keleluasaan dalam interaksi dan proses tidak dibuka. Kegagalan optimalisasi implementasi PHBM di kawasan hutan di Jawa justru dikarenakan ruang diskresi dalam proses implementasi PHBM sangat kecil. Pelaksana di lapangan tidak bisa melakukan inovasi dalam proses implementasi PHBM.
Oleh karena itu gagasan PHBM (Plus) atau PHBM (Plus-plus) yang menekankan adanya fleksibilitas, akomodasi dan adaptasi dan mengkombinasikan aspek kesejahteraan dan aspek keberlanjutan menjadi lebih relevan. Adaptasi dan fleksibilitas terhadap dinamika proses yang ada sangatlah urgen karena pada dasarnya keberhasilan implementasi PHBM akan lebih ditentukan oleh kesepakatan para pemangku kepentingan dari pada kejelasan panduan atau prosedur semata (sebagaimana tawaran opsi pertama).
Bila opsi ini yang dipilih maka ada kebutuhan untuk merumuskan seberapa jauh ruang diskresi tersebut akan dibuka. Hal ini penting untuk dikedepankan untuk menghindari adanya pembenaran atas segala penyelewengan yang berdalih merupakan diskresi yang positif.
Opsi Ketiga: Pengakuan atas Keragaman Tata Kelola Hutan Jawa
Berangkat dari realitas bahwa tidak ada model dan pihak tunggal dalam tata kelola hutan (forestry governance) di Jawa, maka pengakuan secara formal terhadap keragaman tata kelola yang ada harus menjadi arus utama yang diniscayakan. Apabila di kawasan hutan di Jawa di luar kawasan hutan Negara yang dikuasai Perhutani terdapat model hutan rakyat (HR) dan hutan kemasyarakatan (HKm) yang relatif berhasil, maka mendorong pengakuan terhadap gelagat praktek replikasi kedua prototipe forestry governance tersebut di dalam kawasan hutan Perhutani harus sudah mulai dipertimbangkan.
Dengan demikian harus ada negosiasi yang berujung pada titik temu antara masyarakat (kalangan masyarakat sipil) dengan Negara, dimana masing-masing harus mau mengakui dan menghormati praktek-praktek ragam forestry governance yang secara fakual sesungguhnya memang telah berjalan di dalam kawasan hutan Perhutani. Melalui identifikasi antara region-region yang masih mempraktekkan rejim PHBM dan yang sama sekali sudah di luar kendali Perhutani, selanjutnya harus mengadvokasikan pengakuan (recognition)—terutama untuk region yang faktanya relatif mandiri di luar kendali Perhutani—agar menjadi jaminan perlindungan kepastian hukum bagi kelangsungan eksistensi masing-masing model forestry governance yang bersangkutan.
Pustaka:
Kusdamayanti. 2008. Peran Masyarakat dalam Penyusunan Kebijakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Malang, Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No. 2 Juni 2008, Hal. 111-124
Diantoro, Totok Dwi. Hanif, Hasrul. 2012. Kertas Kebijakan ARuPA: Transformasi Tata Kelola Hutan Jawa Menuju Pengelolaan Hutan oleh Rakyat Pasca Implementasi PHBM.
Ostrom, E. 1992. Property-Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis, Land Economics, Vol. 6, No. 3 (Aug., 1992), 249-262
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forest Poor People: resource control and resistance in Java. University of California Press, Berkeley, CA
Peraturan:
UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara PP No. 72/2010 tentang Perum Perhutani
SK Dewan Pengawas No. 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat SK Direksi No. 269/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman engelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani
SK Direksi No. 433/Kpts/Dir/2007 tentang Perubahan SK Direksi No. 400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani
SK Direksi No. 682/Kpts/Dir/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat SK Direksi Perum Perhutani No. 436/DIR/2011 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu