Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan di Jawa (Penyelesaian Deforestasi dan Konflik PHBM )

“Perubahan sistem perencanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa oleh Perhutani berdasarkan Permenhut nomor P.60/Menhut-II/2011 tanggal 28 Agustus 2011 mendesak untuk segera dilakukan untuk memperkecil terjadinya deforestasi dan mengurangi resiko konflik dengan masyarakat “

Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai pedoman operasional dalam pengelolaan hutan di Jawa oleh Perhutani tidak mengalami perubahan subtansial yang mendasar sebagai suatu sistem perencanaan sumberdaya hutan integralistik dengan melibatkan masyarakat desa hutan dan pemerintah daerah. Peran masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyusunan RPKH telah dinegasikan dengan kebijakan Permenhut nomor : P.60/Menhut-II/2011 tanggal 28 Agustus 2011. Subtansi pelibatan masyarakat dalam PHBM hanya sekedar sebagai “katup pengaman” atau “pemadam kebakaran” mengatasi deforestasi dan konflik, bukan menjadi bagian dari sistem perencanaan sumber daya hutan di Jawa secara menyeluruh.Hal tersebut menjadi salah satu kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan Rahmanta Setiahadi, mahasiswa Program Doktor (S3) Fakultas Kehutanan UGM, dalam desertasinya yang berjudul “Modal Sosial dalam Pembangunan Hutan  (Penyelesaian Deforestasi dan Konflik PHBM )”

Penelitian ini dilatarbelakangi meningkatnya laju deforestasi dan konflik  sepanjang tahun 1999 – 2003. Kawasan hutan Jawa seluas 2,9 juta hektar yang mengalami kerusakan mencapai 629.705 hektar atau sekitar 21,71 persen.2 Dari sisi keberlanjutan produksi data menunjukkan bahwa sebelum maraknya penjarahan sejak 1998 sampai 2002, tanaman jati dalam kelas umur 40 – 80 tahun hanya seluas 20.000 hektar. Berdasarkan data statistik Perum Perhutani 1994-1997, kerugian akibat pencurian pohon tercatat sebanyak 408.504 batang pohon dicuri di tahun 1994.  Namun, pada tahun 1998 angka pencurian meningkat mencapai 1.327.178 batang. Trend ini berlaku untuk beberapa kategori lainnya seperti pencurian kayu, perencekan, bibrikan hutan, babat liar tanaman dan kebakaran hutan. Kerugian akibat kerusakan hutan tersebut jika dikonversikan dalam rupiah senilai 9,2 milyar pada tahun 1994 dan 35,3 milyar dalam tahun 19983.

Peningkatan kerusakan dan kerugian ini tidak semata-mata diakibatkan persoalan pencurian kayu dan perusakan tanaman. Banyak faktor yang bisa mengakibatkan semua ini terjadi. Persoalan intinya bagaimana mempertemukan kepentingan kelestarian sumberdaya hutan dengan persoalan kesejahteraan 21,6 juta orang masyarakat desa sekitar hutan yang berada dalam garis kemiskinan. Situasi ini merupakan puncak dari masalah-masalah yang dihadapi Perum Perhutani dalam pembangunan hutan di Jawa.
Salah satu upaya yang dilakukan Perhutani untuk mengatasi deforestasi dan konflik adalah dengan menerapkan PHBM. Pengertian PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. PHBM diharapkan menjadi strategi pembangunan hutan di Jawa untuk mengatasi deforestasi dan konflik antara masyarakat dengan Perhutani.

Banyak kemajuan yang telah dicapai, meskipun masih ada masalah yang muncul dalam proses implementasi PHBM di tingkat lapangan. Kendala yang dijumpai antara lain belum mantapnya bentuk kelembagaan PHBM seperti Forum Komunikasi PHBM yang melibatkan peran para pihak, belum adanya dokumen rencana strategis PHBM, serta kendala-kendala yang bersifat teknis. Pada intinya, kendala tersebut dapat dikelompokkan ke dalam persoalan hak kelola (access right), kelembagaan, keterlibatan para pihak, perjanjian kerjasama, bagi hasil, serta  internalisasi PHBM.

Memahami modal sosial dalam pembangunan hutan di Jawa untuk mengatasi proses deforestasi dan konflik– khususnya di Kabupaten Ngawi – menjadi sangat penting. Proses deforestasi dan konflik selalu melibatkan interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan, peran Perhutani, dan kebijakan pemerintah daerah. Keadilan pengelolaan sumberdaya hutan ditentukan modal sosial masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya kolektif.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ngawi meliputi wilayah tiga KPH, yaitu KPH Ngawi, KPH Saradan dan KPH Lawu Ds. Penelitian ini menggunakan analisa kualitatif untuk menganalisa atau menjelaskan modal sosial dalam pembangunan kehutanan dengan fokus untuk memahami tindakan sosial dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dengan metode deskriptif.  Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan nara sumber yang dianggap memiliki informasi mendalam tentang deforestasi, PHBM dan konflik serta observasi lapangan. Analisa data dimulai dengan pengorganisasian semua data, dengan langkah pengumpulan informasi, melalui wawancara, kuisioner maupun observasi langsung; reduksi untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian; penyajian dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan; menarik kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pertama, proses deforestasi dipengaruhi oleh Norma sosial yang terkait dengan Tradisi dan Aturan/ hukum tertulis dan tidak tertulis. Kedua, unsur Kepercayaan berupa Hak Kelola (norma/ aturan dan kerjasama), Kelembagaan PHBM (relasi sosial), dan Keterlibatan Para Pihak (pihak luar/LSM dan pemerintah), unsur Norma berupa Perjanjian Kerja sama (aturan tertulis dan tidak tertulis) dan Bagi Hasil (toleransi keberagaman) dan unsur Jejaring sosial berupa Rencana Strategis PHBM (ukuran kapasitas dan pengembangan) serta Internalisasi PHBM (relasional) semuanya dalam kondisi Lemah. Ketiga, sikap dalam menghadapi konflik ditentukan kondisi modal sosial. Modal sosial lemah menghadapi konflik dengan Menghindar dan Kompromi. Sebaliknya modal sosial kuat dengan sikap Kompetisi/Agitasi, Kolaborasi dan atau Akomodasi. Keempat, elaborasi modal sosial dalam pembangunan kehutanan untuk menyelesaikan deforestasi dan konflik terbukti tidak terjadi karena sikap Perhutani yang tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya. Perubahan PP 30/2003 menjadi PP 72/2010 serta SK 143/1974 menjadi Permenhut P.60/ Menhut-II/2011 tidak merubah sistem perencanaan sumberdaya hutan yang berbasis kayu(timber forest management). Akibatnya tidak terbangun relasi sosial baru (new social relation) yang  menumbuhkan mutual trust, mutual respect dan mutual benefit antara Perhutani dengan masyarakat – khususnya masyarakat desa hutan.

Jogjakarta, 30 Januari 2012
Dr. Rahmanta Setiahadi.

Add a Comment