Perhutanan Sosial dan Tantangan Menjaga Hutan Tersisa di Indonesia

Mampukah perhutanan sosial menjaga hutan tersisa di Indonesia? Pertanyaan ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat di antara penggiat NGO di seluruh Indonesia, pada forum partner meeting RFN yang berlangsung di jakarta akhir Oktober 2017. Pemerintah Jokowi terang-terangan memunculkan angkat 12,7 ha yang akan diberikan akses legal kepada masyarakat melalui skema perhutanan sosial.

Target ini meliputi skema hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan pola kemitraan. Selain itu, pemerintah juga menargetkan reforma agraria seluas 9 juta ha.

Mimpi besar dari perhutanan sosial adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif. Bagaimana kondisi ini akan tercapai? Benarkah perhutanan sosial menjadi “peluru emas” untuk strategi penyelamatan hutan tersisa di Indonesia? Melihat skema perhutanan sosial ini sudah lama dijalankan di Indonesia, apakah memberi dampak terhadap cita-cita besar keadilan ekologi bagi masyarakat, sementara laju deforestasi dan degradasi hutan juga masih terjadi.

Tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang muncul ini tidak bisa dijawab dengan hitam dan putih, karena sangat tergantung terhadap konteks dan realitas di lapangan. Satu sisi skema perhutanan bagi sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan merupakan peluang untuk mendapatkan legalitas untuk mengelola sumber daya alam. Juga untuk melindungi sumber-sumber ekonomi yang didapatkan dari hutan dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya mereka sehari-hari. Di sebagian besar masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, ada dan ketiadaan skema perhutanan sosial, namun pengelolaan hutan yang lestari masih akan tetap berjalan. Sebagai contoh pengelolaan hutan di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rantau Kermas, Kabupaten Merangin. Di sini bisa ditemukan tutupan hutan yang masih bagus dan merupakan hulu air yang dikelola oleh masyarakat dengan skema hutan adat.

Pun demikian dengan daerah-daerah lain yang sudah mendapatkan legalitas perhutanan sosial seperti hutan desa dan HKm telah menyusun rencana kerja pengelolaan tergantung fungsi hutan. Di kawasan hutan lindung, fungsinya akan terus dipertahankan untuk tetap lindung, dengan mengembangkan kebun campur (agroforest) karet, tanaman buah dan tanaman kayu lainnya. Sehingga secara tutupan, semakin meningkat sekaligus memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Dengan adanya legalisasi hak dan akses masyarakat untuk kawasan hutan negara, skema perhutanan sosial ini disambut baik, sehingga pengelolaan kawasan hutan tidak dipandang sebagai kegiatan yang haram dan tidak berkonsekuensi hukum. Di satu sisi skema perhutanan sosial ini memberikan masyarakat keleluasaan mengelola dan menjaga tutupan hutan, sekaligus menahan serangan dari pihak lain yang ingin merambah kawasan hutannya.

Namun faktanya ancaman kekinian terhadap perlindungan kawasan hutan dan perampasan hak-hak masyarakat di dalamnya masih terus terjadi. Di balik cerita sukses dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui skema perhutanan sosial, masih banyak fakta-fakta yang mengakibatkan arus deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia terus berjalan. Hal ini disebabkan oleh:

Pertarungan perebutan ruang kawasan hutan skala besar dimenangkan oleh pihak korporasi perkebunan/pertambangan. Terbukti proses izin pengusulan konsesi jauh lebih cepat diproses (2 bulan) dibanding dengan proses usulan perhutanan sosial yang memakan waktu hingga tahunan. Skema perhutanan sosial melewati jalur panjang dan birokrasi berbelit dengan luasan yang jauh lebih kecil dari apa yang diajukan oleh perusahaan. Bahkan di banyak kasus, izin konsesi belum keluar, namun peta pencadangan wilayah sudah diarsir.

Orientasi ekonomi berbasis sumber daya alam masih sangat tinggi yang dipaksakan, diperkenalkan dan ditanamkan by design melalui RTRW, RPJMD di daerah dan nasional. Skema perhutanan sosial masih dianggap usaha non produktif yang tidak menghasilkan pendapatan bagi daerah/nasional. Hal ini menjadi tantangan terberat juga di tanah Papua, di mana 70% dari kawasan hutannya dialokasikan untuk zona budidaya.

Eforia perhutanan sosial cukup tinggi di level nasional dengan dibentuknya 34 Pokja percepatan perhutanan sosial di provinsi, namun semangatnya tidak diiringi dengan semangat proaktif dari nasional dan provinsi untuk memfasilitasi usulan. Terbukti provinsi dan nasional menunggu pasif usulan dari masyarakat. Sedangkan masyarakat tidak mampu mempersiapkan dokumen usulan berupa peta, dan kelengkapan lainnya tanpa ada pendamping. Sementara kekuatan NGO pendamping juga sangat terbatas.

Politik anggaran untuk perhutanan sosial masih sangat kecil. Menurut Indonesia budget center, anggaran yang dibutuhkan untuk perhutanan sosial idealnya 327.000/ha. Nyatanya, anggaran yang tersedia cuma 100.000/ha, sehingga masih kurang 3 kali lipat dari kebutuhan. Anggaran Dirjen PSKL sangat kecil dibanding Dirjen lain di KLHK. Di daerah sendiri, sebagian daerah belum menganggarkan perhutanan sosial dalam rencana pembangunan jangka menengahnya.

anak rimba
Dua anak rimba berada di bekas hutan yang dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan. Maraknya alih fungsi lahan membuat komunitas Orang Rimba semakin terdesak dan kehilangan ruang jelajah (Dok. KKI Warsi)

Sebaran lokasi perhutanan sosial yang terpisah-pisah (terfragmentasi) dalam spot-spot wilayah kecil, sehingga sulit perlindungan hutan yang efektif dan ekonomis. Terlebih lagi alokasi dan sebaran skema perhutanan sosial didominasi di hutan lindung, yang hanya bisa memanfaatkan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu.

Langkah Progresif

Skema perhutanan sosial belum bisa menjawab perlindungan hutan di Indonesia. Usulan pengajuan skema perhutanan sosial masih harus berkompetensi dengan izin lain, sehingga target 12,7 juta ha pun belum tentu akan tercapai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial pun masih berupa peta kosong dan belum mencerminkan kondisi real di lapangan. Persoalan tata kuasa dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia, menjadi pendekatan yang harus segera direspons, sehingga target pengelolaan hutan oleh masyarakat bisa cepat di proses. Misalkan mekanisme penetapan kawasan erhutanan sosial bisa dilakukan langsung oleh daerah. Dimana Gubernur bisa mengamanatkan kepada Bupati agar melakukan inventarisasi atas PIAPS sehingga data yang disampaikan lebih real. Dengan demikian peran pemerintah lebih pro-aktif dengan dan menyediakan kegiatan fasilitasi di lapangan. Perbaikan tata kelola juga menjadi hal yang harus terus ditingkatkan. Kita tidak ingin mengubah persoalan lama dengan mengadopsi model pengelolaan eksploitatif, ekstraktif dan akumulatif sumber daya alam. Sudah saatnya merumuskan pendekatan baru pengelolaan ekonomi yang inovatif tanpa merusak hutan yang tersisa. Adapun skema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) tidak akan menjawab pengelolaan hutan lestari tanpa adanya perbaikan tata kelola dan tata usaha di Indonesia.

Tata usaha untuk wilayah-wilayah yang dikelola oleh masyarakat memerlukan dukungan dan inovasi untuk perbaikan ekonomi di desa sekaligus mengatasi kantungkantung kemiskinan yang terpusat di wilayah sekitar hutan. Tanpa adanya terobosan usaha peningkatan ekonomi, maka praktik pengelolaan hutan yang ekstraktif dan eksploitatif akan terus berjalan atas nama kemiskinan. (Bulletin Alam Sumatera, KKI Warsi)