Hutan Rakyat dan Label Sertifikasi

“Hutan rakyat telah memberikan kontribusi dalam menjaga sistem penyangga kehidupan. Diyakini bahwa hutan rakyat mampu meningkatkan kualitas sumberdaya hutan, tata air dan kualitas tanah, serta menjamin sumber penghidupan masyarakat. Sebagai sistem pengelolaan, hutan rakyat yang berada pada tanah hak milik, apakah perlu disertifikasi untuk menjawab persoalan pasar dan dalil meningkatkan “premium price” ?”

Keberadaan hutan rakyat memang patut untuk diberikan penghargaan. Tidak ada keharusan  bahwa  tanah hak milik perorangan untuk ditanami pepohonan (hutan) dalam jangka waktu yang panjang.

Secara sadar masyarakat  desa, sebagai pemilik tanah (disebut: lahan)  melakukan penanaman, perawatan, dan penebangan secara berkelanjutan. Menjadikan lahan-lahan marginal, yaitu lahan-lahan yang tidak produktif untuk ladang atau sawah, sebagai hutan rakyat.

Jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan negara, dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan, hutan rakyat tentu saja belum dapat disandingkan sejajar. Hutan rakyat mempunyai kharakteristrik, di antaranya: kekuasaan pengelolaan berada di kepala keluarga, lahan hutan berada di tanah hak milik, jenis tanaman bergantung pada kebutuhan kepala keluarga, dan penebangan pohon juga tergantung kebutuhan kepala keluarga.

Untuk memperkuat  keberadaan hutan rakyat, Javlec Indonesia mendorong  “Collective Action” dalam mengelolanya. Melalui rancang bangun hutan rakyat lestari, Javlec Indonesia melakukan fasilitasi pembentukan kelompok tani hutan rakyat, pendampingan kelompok, pelatihan kelembagaan dan tata usaha kayu, serta membangun jejaring pemasaran kayu rakyat. Sebagai contoh di Kabupaten Gunungkidul.

Kelompok tani hutan rakyat merupakan kumpulan petani-petani hutan rakyat sebagai pemilik lahan untuk mengelola hutan rakyat dalam satu kawasan pengelolaan hutan rakyat. Maksudnya agar kegiatan penanaman, perawatan, dan penebangan pohon dikoordinasikan dalam kelompok melalui rencana pengelolaan hutan rakyat.

Sebenarnya dengan keberadaan kelompok tani hutan rakyat, partisipasi petani hutan rakyat, kepatuhan pada rencana pengelolaan hutan rakyat – kelestarian hutan rakyat akan terjamin. Ditetapkannya jatah tebang kayu per tahun dalam wilayah kelola hutan rakyat menjadi jaminan kelestarian sumberdaya hutan dan kelestarian hasil kayu.

Dalam dinamikanya, muncul sertifikasi hutan rakyat. Dengan dalil bahwa kelestarian hutan rakyat perlu mendapatkan pengakuan dari pihak ketiga, dalam hal ini lembaga sertifikasi. Ada juga argumentasi bahwa dengan sertifikasi tersebut,  mendapat harga kayu yang lebih mahal atau sering disebut “premium price”.

Tahun 2004,  atas dukungan Multistakeholder Forestry Program I – DFID, Yayasan Shorea, Lembaga Arupa, dan Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan UGM menyelenggarakan program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari. Program ini mengambil lokasi di 3 desa, yaitu Kedungkeris, Dengok, dan Girisekar di Kabupaten Gunungkidul. Program ini melakukan penataan areal hutan rakyat, penguatan kelembagaan, dan pelaksanaan teknis-teknis kehutanan yang baik.

Tahun 2006,  unit manajemen hutan rakyat  seluas 1.153, 32 hektar tersebut dilabeli dengan sertifikasi voulentary, yaitu Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML)  Lembaga Ekolabel Indonesia. Ini merupakan kali kedua, hutan rakyat yang disertifikasi LEI setelah hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri.

sawmil kwml

Sebagai unit bisnis komunitas kemudian dibentuk sebuah koperasi, yaitu  Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML). Koperasi tersebut merupakan wadah untuk usaha yang bergerak pada usaha  penjualan kayu rakyat yang diambil dari areal hutan rakyat bersertifikat.

Tahun 2014,  kerjasana Javlec Indonesia  dan beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya  atas dukungan Multistakeholder Forestry Program II – DFID, terdapat 9 unit manajemen hutan rakyat dijadikan lokasi pembelajaran untuk pengelolaan hutan rakyat lestari dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) hutan rakyat. Meliputi kabupaten: Purbalingga, Banjarnegara, Temanggung, Bantul, Gunungkidul, Blitar, Tulung Agung, Nganjuk, dan Trenggalek. Luas areal hutan rakyat yang terkelola dalah 5.443 hektare, dengan penerima manfaat 18.447 kepala kelaurga.

Berkaca pada pengelolaan sumberdaya hutan rakyat  yang berkelanjutan dan penerapan sertifikasi hutan rakyat, dapat disampaikan beberapa pembelajaran. Pertama, melalui pengelolaan hutan rakyat secara kolektif sebenarnya cukup untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan rakyat. Kedua, sertifikasi pada hutan rakyat secara dokumen pengajuan dapat dipenuhi. Namun, pembiayaan sertifikasi kepada lembaga sertifikasi menjadikan beban bagi kelompok tani atau koperasi hutan rakyat. Pada pembiayaan sertifikasi awal mungkin dapat ditanggung oleh pihak lain (donor atau lainnya), namun pada saat penilikan tidak ada jaminan bantuan selanjutnya. Ketiga, belum dirasakan adanya peningkatan harga kayu sertifikasi. Bahkan tidak ada perbedaan harga antara kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat bersertifikat dengan hutan rakyat yang tidak mempunyai sertifikat lestari. “Premium price”  tidak  terbukti sampai dengan saat ini.

Dengan penatausahaan hasil hutan kayu yang baik, mematuhi kebijakan penatausahaan kayu rakyat, sebenarnya pengelolaan hutan rakyat sudah cukup. Ditambah dengan pengelolaan kolektif, semakin menambah daya tawar kayu rakyat.

Jaminan kelestarian hutan rakyat dalam daerah aliran sungai (DAS) dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya air dan tanah.  Keseimbangan sistem penyangga kehidupan,  yang di dalamnya terdapat keberadaan hutan rakyat, dapat melestarikan lingkungan dan kehidupan makhluk hidup yang lebih baik.

Penulis: 
Exwan Novianto