Membuka Kembali Catatan Perhutanan Sosial

“Pita merah perhutanan sosial dimulai dari Wanagama Yogyakarta oleh Wakil Presiden Bapak Yusuf Kalla pada 15 Desember 2007. Dari Yogyakarta untuk Indonesia. Seakan menjadi harapan baru untuk Perhutanan Sosial di Indonesia. Kemudian, sampai saat ini seperti apa manfaat yang dirasakan oleh petani-petani hutan di Yogyakarta? ”

Tonggak sejarah perjalanan perhutanan sosial di Indonesia diawali dengan hadirnya kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Sebelumnya, terdapat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 tahun 1995 dan 677 tahun 1999 kemudian SK 31 tahun 2001. Berbagai inisiatif perhutanan sosial yang digagas para lembaga swadaya masyarakat kemudian berdinamika dalam memperjuangkan perizinan pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara formal.

Di tingkat tapak, sebenarnya para penggiat perhutanan sosial telah lama memperjuangkan hak-hak masyarakat desa dalam akses kelola kawasan hutan. Sebelum kebijakan pemerintah hadir, praktek-praktek perhutanan sosial sudah ada namun memang belum ada jaminan akses terhadap kawasan hutan. Seperti praktek-praktek  perhutanan sosial di Lampung, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.

Kemudian  tonggak sejarah berikutnya adalah  acara Launching  HKm 15 Desember 2007, Wakil Presiden Bapak Yusuf Kalla hadir dan menyerahkan izin hutan kemasyarakatan kepada kelompok-kelompok tani hutan di Hutan Wanagama, Gunungkidul Yogyakarta.  Ada 57 kelompok tani dari  4  daerah yang memperoleh izin pengelolaan HKm, yaitu Lampung Barat, Lampung Tengah, Yogyakarta, dan Lombok Barat. Tonggak sejarah perhutanan sosial yang patut mendapatkan apresiasi yang besar, bahwa negara telah hadir.

prhm 2009Perjalanan memperjuangkan Community Based Forest Management di Indonesia ditorehkan kembali pada acara besar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat pada tahun 2009.  Hasil kerjasama parapihak tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah dan non pemerintah saling mendukung dalam mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat di dalam/ sekitar hutan. Parapihak yang mendukung tersebut adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) khususnya Fakultas Kehutanan, Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi DIY, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI, Multistakeholders Forestry Program (MFP) Kehati, Kemitraan (Partnership for Goverment Reform), Java Learning Center (JAVLEC), dan para pihak lainnya.

Berbagai inisiatif kelompok kerja (working group) dapat dibentuk oleh kementerian kehutanan dan lembaga non pemerintah, dalam mendorong pelaksanaan perhutanan sosial baik di tingkat kebijakan dan di tingkat tapak sebagai bentuk implementasi di daerah. Seperti working group tenure, working group pemberdayaan, dan lain sebagainya. Di tingkat daerah , seperti Kelompok Kerja HKm di Yogyakarta.

Terakhir, kebijakan perhutanan sosial  diatur dalam  Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2016 tentang Perhutanan Sosial. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, kesembangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan.

Perjalanan panjang  tersebut  dibarengi dengan pengalaman-pengalaman dari para penggiat perhutanan sosial. Salah satunya adalah Yayasan Javlec Indonesia.

Di Yogyakarta, Javlec Indonesia mempraktekan 3  skema perhutanan sosial tersebut, yaitu hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat. Dalam implementasinya, dinamika di lapangan memberikan pengetahuan berharga untuk parapihak penggiat perhutanan sosial agar ke depan program perhutanan sosial dapat lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya hutan.