Membuka Kembali Catatan Perhutanan Sosial

Menggapai Harapan Yang Tak Kunjung Terwujud

 “Di Yogyakarta, Kelompok tani HKm telah memperoleh Izin Pemanfaatan HKm pada tahun 2007. Dalam seremonial yang dihadiri oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla,  kelompok tani hutan menerima langsung izin kelola tersebut.  Kala itu , harapan memperoleh manfaat hasil hutan kayu tersirat di wajah-wajah berseri petani-petani hutan.”

Tidak disangka ternyata perjuangan  panjang  masyarakat sekitar itu pun tidak berujung pasti. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang diperoleh pada tahun  2007 ternyata tidak serta merta dapat memanfaatkan hasil hutan kayu. Pun sampai dengan pertengahan tahun 2018, pohon-pohon Jati yang sudah berdiameter 20 cm dari hasil penanaman kelompok tani hutan di kawasan hutan produksi belum juga dapat dilakukan penebangan.

Harapan yang diawal perjuangan bahwa akan ada jatah kayu untuk masyarakat sekitar hutan, sebagai pemegang izin, terasa hanya akan menjadi impian belaka. Kelompok tani hutan sebagai pemegang izin hanya dapat melihat pohon-pohon yang siap tebang.

Fenomena itu layak untuk dapat dipahami bagi orang-orang  yang tahu sejarah perjuangan bagaimana memperoleh izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Semua jalur formal prosedural sudah dijalankan, mengaju pada kebijakan hutan kemasyarakatan yang berlaku pada saat itu sampai dengan saat ini. Antara lain:  pembentukan koperasi, diklat grader kayu, rencana kelola umum, rencana kelola tahunan,  rencana penebangan, dan lain sebagainya.

Memang ada yang khas di Yogyakarta, bahwa masyarakatnya selalu taat pada aturan-aturan pemerintah. Meskipun pihak-pihak yang berwenang belum juga memberikan izin penebangan kayu, kelompok tani hutan tetap patuh menunggu. Namun, sampai kapan kah itu?

Dengan jumlah petani sebanyak 2.816 jiwa dan luas garapan 1.100,65 hektare, mereka masih menantikan waktu, kapan dapat merasakan memiliki kayu dari pohon HKm hasil penanamannya. Yang tentunya itu adalah haknya sebagai pemegang izin pemanfaatan HKm di hutan produksi.

Fakta ini menunjukkan bahwa perhutanan sosial yang digagas oleh parapihak, yang tertuang dalam kebijakan perhutanan sosial, belum sepenuhnya berhasil mencapai tujuannya. Yakni, hutan kemasyarakatan di kawasan hutan fungsi produksi. Seakan hanya riuh selama proses perizinan belaka. Begitu izin sudah diberikan kepada kelompok masyarakat, tidak ada lagi semangat untuk menuntaskan pemanfaatan kayu di dalamnya, misalnya dukungan nyata kementerian kehutanan ataupun pihak-pihak di daerah.