Menjalankan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu, Mandatory bagi Industri Kayu

industri pengolahan kayu

“Industri pengolahan kayu berkewajiban mempunyai sertifikat legalitas kayu. Bersifat mandatory, industri harus berupaya memenuhi standar verifikasi legalitas kayu. Jika tidak, maka produk-produk yang dihasilkan dari industri pengolahan kayu tidak dijamin legalitas asal usul, proses, dan pemasarannya.”

Kebijakan sistem verifikasi legalitas kayu merupakan produk pemerintah Indonesia, yang berawal dari inisiasi parapihak kehutanan dalam menyikapi isu legalitas kayu hutan  dan produk-produk  turunan kayu  yang dipandang negatif oleh pihak-pihak di luar negeri. Kemudian, Kementerian Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.

Terakhir, disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tanggal 1 Maret 2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan atau pada Hutan Hak. Di Kementerian Perdagangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/4/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan.

Atas konsekuensi diterbitkannya kebijakan tersebut, indutri pengolahan kayu harus memegang sertifikat legalitas kayu. Dengan sertifikat itu, ada jaminan bahwa industri tersebut telah memenuhan dokumen asal usul kayu, pengolahan kayu, dan dokumen penjualan produk kayu menjadi masalah bagi industri kayu.

Javlec Indonesia turut melakukan asistensi bagi industri kayu dalam pemenuhan dokumen-dokumen kayu untuk mendapatkan sertifikasi legalitas kayu. Tahun 2013-2015, Javlec bekerja di Jepara, Surakarta, Karang Anyar, Sukoharjo, Jombang, Ngawi, dan Pasuruan.  Sebanyak  97 industri kecil dan menengah mendapatkan fasilitasi dalam sertifikasi legalitas kayu.

Kegiatan tersebut atas dukungan Multistakeholder Forestry Program Phase 2  – MFP phase 2 DFID.  Dalam implementasinya,  Javlec  menjalin kerjasama dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, asosiasi pengusaha mebel, asosiasi pengusaha kayu bulat, dan parapihak lainnya agar fasilitasi sertifikasi legalitas kayu dapat berjalan dengan baik.

Javlec dan parapihak tersebut mendirikan pusat informasi untuk melakukan asistensi melalui coaching clinic bagi pengusaha-pengusaha industri kayu. Coaching clinic dilakukan dengan pertemuan langsung dengan para pengusaha. Sebelumnya, Javlec melakukan “gap analysis” terhadap industri pengolahan kayu. Atau disebut Analisis Kesenjangan,  yaitu menilai  pemenuhan fakta-fakta  industri berdasarkan  standar verifikasi legalitas kayu.

Kesenjangan yang teridentifikasi adalah  sulitnya diterapkannya prosedur-prosedur yang seharusnya dilakukan oleh industri terhadap dokumen-dokumen kayu. Khususnya pada kayu yang berasal dari hutan negara, dokumen Faktur Angkutan Kayu Bulat harus “dimatikan” pada saat telah sampai di tempat tujuan pengiriman kayu. Di lapangan, hal itu tidak sepenuhnya berjalan semestinya.

Terbatasnya petugas kehutanan yang berwenang mematikan dokumen tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, industri pengolahan kayu yang tidak melaporkan dokumen-dokumen tersebut pada saat kayu telah berada di tujuan pembongkaran kayu.

Aspek legalitas industri juga menjadi perhatian, dimana banyak industri yang belum sepenuhnya mempunyai dokumen legalitas usaha. Misalnya: izin gangguan, izin pengelolaan lingkungan, izin usaha industri, dan sebagainya.

Di bagian hilir, industri belum semuanya memiliki izin eksport sebagai  Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK). Biasanya, kegiatan eksport dilakukan oleh perusahaan ekspedisi, sedangkan industri produsen hanya mensuplai barang atau “titip” ke perusahaan ekspedisi untuk mengirim barang ke konsumen di luar negeri.

Setelah mendapatkan sertifikat legalitas kayu dari lembaga sertifikasi (pihak ketiga), memang pertanyaan yang muncul adalah seberapa penambahan nilai rupiah yang akan diperoleh (added value) dari penjualan produk  industri mebel. Seberapa keberterimaan  konsumen dan  buyer-buyer di luar negeri?

Segi pembiayaan sertifikasi industri juga dinilai mahal bagi industri kecil dan menengah. Yaitu, pembiayaan pada saat mengajukan sertifikat dan pada saat penilikan yang dilakukan setiap tahun. Meskipun, di dalam sertifikasi tersebut dimungkinkan dibentuk kelompok industri kecil untuk mengajukan sertifikasi legalitas kayu.

Kredibilitas sistem verifikasi legalitas kayu juga mendapatkan sorotan. Seberapa besar peran masyarakat dapat menjadi pihak penyeimbang sebagai  pemantau independen, tentunya dapat meningkatkan kredibilitas sistem tersebut.

Serangkaian permasalahan tersebut seyogyanya terus dibenahi, dengan terus membuka dialog parapihak, asistensi industri pengolah kayu, perbaikan sistem untuk menjaga kredibilitasnya, serta terus mempromosikannya ke luar negeri. Kerjasama antar pihak akan terus dibutuhkan, yaitu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Pemerintah Daerah, dan sebagainya. Dan yang penting, ego sektoral untuk dihilangkan.

Penulis :
Exwan Novianto
Praktisi Sertifikasi