Integrasi Perhutanan Sosial dalam Pembangunan Desa
|Setelah diperolehnya perizinan perhutanan sosial, dukungan apa yang diberikan kepada lembaga/kelompok pemegang izin? Kemudian, manfaat apa yang dapat diperoleh dari pemberian izin tersebut? Model integrasi perhutanan sosial dengan pembangunan desa, boleh jadi jawaban pertanyaan tersebut. Desa dapat hadir memberikan fasilitasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, sekaligus dukungan pendanaan melalui dana desa.
Menengok HKm di Desa Girisuko-Kabupaten Gunungkidul tahun 2007, salah satunya adalah Kelompok Tani Hutan “Sidomulyo III”. Di Desa Wanagiri-Kabupaten Buleleng, ada Badan Usaha Milik Desa “Eka Giri Karya Utama” yang tahun 2015 menerima izin hutan desa. Keduanya itu, mendapat hak pengelolaan hutan lindung.
KTHKm dan BUMDesa itu “memutar otak” mencari sebuah usaha berbasis kawasan hutan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan, khususnya para penggarap lahan hutan yang tergabung dalam lembaga tersebut. Setelah pencarian gagasan sekian tahun, barulah muncul gagasan untuk menciptakan bisnis wisata hutan.
KTHKm Sidomulyo III memiliki potensi keindahan panorama Sungai Oya dalam bentang alam Pegunungan Seribu. Dengan batuan karst yang unik dan hamparan geoforest, adalah modal untuk dikembangkan menjadi sebuah produk wisata.
BUMDesa Eka Giri pun juga demikian, ada “surga yang tersembunyi” di dalam kawasan hutan desa Wanagiri yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata. Dipadukan dengan produksi kopi di dalam dan sekitar hutan, menambah daya tarik bagi wisatawan.
Keduanya memiliki kesamaan, yaitu pengembangan ekonomi masyarakat dalam skema perhutanan sosial. Dengan harapan, perhutanan sosial dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat desa.
Di tahun 2018, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada melakukan fasilitasi proses integrasi perhutanan sosial dalam pembangunan desa. Desa Girisuko dan
Desa Wanagiri menjadi sebuah model pembelajaran integrasi tersebut. Dengan dukungan pendanaan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), kegiatan-kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas dan pendampingan kelembagaan dilakukan terhadap pemegang izin perhutanan sosial dan desa dalam pengembangan ekonomi masyarakat.
“Ini adalah kesempatan yang luar biasa bagi Kami, pendampingan dari Fakultas Kehutanan UGM untuk memperkuat kelembagaan BUMDesa Eka Giri Karya Utama dan pengembangan wana wisata Banyumala”, kata I Wayan Gumiarsa selaku Kepala Desa Wanagiri, Kabupaten Buleleng.
Integrasi Rencana Kerja Umum (RKU) hutan desa ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dapat dilakukan dengan sinergi antara BUMDesa, Kelompok tani hutan, dan pemerintah desa berpedoman pada kebijakan pemerintah. Dengan terintegrasinya perencanaan hutan dalam perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa dapat memberikan dukungan pembiayaan dan permodalan kepada BUMDesa sebagai pengelola hutan desa. Juga, di bidang pemberdayaan masyarakat, pemerintah desa dapat memberikan fasilitasi pelatihan sesuai kebutuhan BUMDesa.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wahyu Setyoningsih, selaku sekretaris Desa Girisuko Kabupaten Gunungkidul, bahwa desa dapat memberikan dukungan kepada kelompok HKm sepanjang perencanaan kegiatan-kegiatan HKm dimuat dalam perencanaan desa, baik di dalam RPJMDesa dan RKP Desa. Proses integrasi tersebut dilakukan melalui proses musyawah desa yang partisipatif. “Namun demikian, diperlukan skala prioritas kegiatan agar kegiatan-kegiatan pembangunan desa yang lainnya juga dapat dilaksanakan”, kata Wahyu Setyoningsih.
Untuk melakukan integrasi perencanaan tersebut, Fakultas Kehutanan UGM melakukan serangkaian kegiatan, meliputi fasilitasi pembaharuan RKU & RKT pada tingkat kelompok/pengelola hutan, workshop perencanaan desa, musyawarah dusun, musyarawah desa, dan penyusunan rumusan prioritas kegiatan HKm & hutan desa sebagai masukan dalam RKP Desa tahun 2019.
Sebenarnya dengan adanya Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 16 tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2019, perhutanan sosial telah menjadi prioritas kegiatan yang dapat dibiayai dengan dana desa. Namun implementasi di tingkat desa, tidak serta-merta integrasi kegiatan perhutanan sosial secara otomatis masuk dalam perencanaan desa. Ini membutuhkan proses sinkonisasi program dan pendampingan di tingkat pemegang izin perhutanan sosial untuk memahami konsep pembangunan desa dan juga pada tingkat pemerintah desa untuk memahami konsep perhutanan sosial.
Harapannya, pembelajaran model integrasi di 2 desa tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perhutanan sosial di tempat lain. Yang pada akhirnya,diharapkan perhutanan sosial dalam memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. (ewn)