Membuka Kembali Catatan Perhutanan Sosial

Menempuh Jalan Panjang Hutan Desa

“Tahun 2011, pengajuan hak pengelolaan hutan desa telah diajukan oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa oleh 6 desa di Gunungkidul kepada Kementerian Kehutanan. Di tahun 2013, Penetapan Areal Kawasan Kerja untuk Hutan Desa diterbitkannya. Sampai saat ini , tahun 2018, kelanjutan proses perizinan itu tak ujung melangkah.”

Pada waktu itu didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa,  fasilitasi  pengajuan izin hutan desa dilakukan pada tahun 2009. Inisiasi pengajuan izin hutan desa  di 6 desa tersebut melibatkan parapihak, yaitu Yayasan shorea, Yayasan Javlec, BPKH, Dinas Kehutanan, dan pemerintah desa. Desa-desa tersebut adalah Kepek, Jetis, Monggol, Kanigoro, Krambilsawit, dan  Planjan.

Ada  890 rumah tangga di Kabupaten Gunungkidul telah mengakses kawasan hutan yang masuk dalam tanah Afkiren Bosch (tanah AB). Mereka telah mengolah lahan di kawasan hutan tersebut sejak lama secara turun temurun.

Kawasan hutan yang diajukan menjadi hutan desa adalah di tanah AB. Tanah AB adalah kawasan hutan negara yang dikeluarkan dari pengelolaan kawasan hutan  oleh Pemerintah Belanda kala itu, karena letaknya yang terpencar-pencar dan luasan yang kecil tidak kompak. Yang kemudian  setelah masa kemerdekaan, tanah AB dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta. Dinas tersebut menetapkan tanah AB menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT).

Di satu sisi, Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat juga memiliki tanah khusus milik keraton yaitu tanah Sultan Ground (tanah SG). Tanah tersebut tersebar di wilayah-wilayah selatan, termasuk Gunungkidul. Tanah AB dan tanah SG berdampingan di Gunungkidul.

Sebenarnya, atas dasar peta HPT itulah izin hutan desa 551,24 hektar diajukan kepada kementerian kehutanan. Yang mana, kemudian verifikasi oleh kementerian kehutanan memperoleh hasil bahwa peta penetapan areal HD terjadi tumpang tindih dengan tanah SG maupun hak milik.

Sementara di tingkat lapangan, pemerintah desa dan pihak keraton melakukan verifikasi kembali tanah-tanah SG. Yang kemudian muncul isu bahwa tanah AB juga akan ditarik menjadi tanah SG sebagai aset tanah milik keraton.

Itulah yang menjadi sebab mandeg-nya  proses perizinan hutan desa di Gunungkidul.  Persoalan komplek pertanahan yang tidak dapat disikapi dengan jelas oleh para pemangku kawasan/ tanah.

Pertanyaannya, akan diapakan proses perizinan hutan desa yang sudah terbit PAK-nya? Ini terkait erat tidak adanya pihak-pihak yang kembali menyuarakan perjuangan hutan desa. Pemerintah desa juga tidak berani mempertanyakan seperti apa selanjutnya. Sementara Dinas kehutanan provinsi juga tidak bertindak, karena memang tidak berani dengan kebijakan keraton.

Mungkin inilah akhir proses hutan desa di Yogyakarta, “Mati Segan, Hidup Tak Mau”. Namun demikian  di tingkat tapak, masyarakat sekitar hutan tetap masih dapat mengakses kawasan tanah AB untuk memenuhi kebutuhan pangan. Yang mana melalui kebijakan lokal pemerintah desa, pengelolaan tanah AB dikelola dengan bijak  oleh masyarakat desa.

Similar Posts