Membuka Kembali Catatan Perhutanan Sosial

Menakar Hasil Kayu Hutan Tanaman Rakyat

“Tahun 2009,  IUPHHK HTR  telah ditangan Koperasi. Proses legal dan prosedural  telah ditunaikan. Kenapa juga sampai saat ini, pemegang izin belum dapat menebang kayu?”

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan Departemen Kehutanan melakukan revitalisasi sektor kehutanan yang salah satu polanya adalah memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik.  Kawasan yang kosong dan terlantar akan dikelola bersama masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada pasa datang, berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Pernyataan tersebut adalah sebagian cuplikan dari Siaran Pers resmi Departemen Kehutanan yang dikeluarkan pada tanggal 3 Oktober 2006 (Nomor: S. 525/II/PIK-1/2006).

Departemen Kehutanan RI telah menerbitkan Permenhut No.23/Menhut-II/2007 jo Permenhut No. 5/Menhut-II/2008 yang mengatur tentang hutan tanaman rakyat (HTR). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR) menjadi peluang masyarakat untuk dapat mengelola hutan negara dalam rangka meningkatan kesejahteraannya.

Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan agenda baru terkait dengan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui pemberian akses hukum terhadap pemanfaatan hutan produksi, akses ke Lembaga Pembiayaan dan akses ke pemasaran hasil hutan (industri perkayuan) yang lebih luas.

Salah satu lokasi yang dikembangkan untuk HTR adalah kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Gunungkidul. Lokasi yang diusulkan berada pada tanah Hutan Produksi Tetap yang saat ini masih dalam kondisi kritis dan kosong, dan terletak di wilayah Kabupaten Gunungkidul seluas ± 1.773 Ha.  (berdasarkan Peta Indikasi lokasi Hutan Produksi Tetap, Surat Keputusan Menhut Nomor 197/kpts-II/2000, tanggal 12 Juli 2000).

Dari lokasi seluas itu, yang dialokasikan untuk pencadangan HTR seluas ± 400 ha. Desa-desa yang akan dikembangkan HTR model adalah Desa Balong, Desa Purwodadi, dan Desa Jepitu Kecamatan Girisubo, Gunungkidul. Hutan produksi tetap ini lebih dikenal dengan tanah AB (Afkiren Boschs).

Hutan tanaman rakyat merupakan skema  perhutanan sosial, dimana perorangan atau kelompok usaha masyarakat (koperasi) dapat  memperoleh izin pengelolaan  hutan layaknya perusahaan hutan tanaman industri skala kecil. Pemegang izin pun diperlakukan seperti perusahaan pengelola hutan produksi. Hasil hutan kayu menjadi komoditi utama. Mampukah koperasi mengelola hutan produksi?

Di Yogyakarta,  ada  3 koperasi HTR yang mengelola 327,95 hektar oleh 1.130 petani hutan. Koperasi tersebut adalah Koperasi Bima, Koperasi Akur, dan Koperasi Wonomulyo.

Kawasaan hutan yang menjadi konsesi terletak di Tanah AB, yaitu kawasan hutan produksi terbatas dimana luasannya kecil-kecil dan tersebar  tidak kompak. Oleh karenanya, sebenarnya Tanah AB merupakan kawasan hutan afkiran yang pada saat jaman  kolonial  dikeluarkan dari pengelolaan kawasan hutan yang kompak, karena dinilai tidak optimal. Selain itu, tanahnya juga kurang subur, bebatuan, dan berbukitan.

Meskipun demikian, masyarakat desa yang berada di sekitar kawasan hutan telah mengakses lahan secara turun temurun. Masyarakat desa mempergunakan untuk tanaman pangan pada lahan-lahan yang memungkinkan ditanami dan  untuk lahan-lahan berbatu dan curam ditanami pohon Jati dan Mahoni.

Pemerintah desa dengan kearifan lokal-lah yang menjadi pengatur masyarakat dalam mempergunakan lahan-lahan tersebut. Sebagai masyarakat yang taat adat istiadat di Yogyakarta, petani-petani hutan tetap mengakui bahwa lahan tersebut adalah milik negara, meskipun mereka sudah bercocok tanam secara turun temurun.

Sempat ada beberapa petani menaruh kecurigaan bahwa pengajuan hutan tanaman rakyat akan menghilangkan lahan-lahan pertanian mereka, mengubah semua lahan ditanami tanaman berkayu. Ini menjadi tantangan bahwa sosialisasi dan pendampingan  perlu dilakukan intensif. Salah satu cara untuk menarik partisipasi petani-petani hutan adalah melibatkannya dalam pemetaan partisipatif, yang juga melibatkan Dinas Kehutanan dan BPKH XI Jawa Bali.

Setelah penyiapaan kelembagaan dan penataan kawasan, pengajuan IUPHHK HTR dilakukan pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, Koperasi Bima memperoleh izin tersebut.  Disusul kemudian, tahun 2011 Koperasi Akur  dan tahun 2013 Koperasi Wonomulyo memperolehnya.

Pasca perolehan izin, tentunya fasilitasi penguatan kelembagaan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dilakukan. Sebagai unit usaha komunitas, koperasi  perlu didorong menjadi unit usaha yang bermanfaat bagi anggota-anggotanya, tidak hanya di sektor kehutanan. Sekaligus, sebagai pengelola hutan tentunya rencana kerja umum jangka waktu 10 tahun disyaratkan untuk disusun dan disyahkan oleh Dinas Kehutanan, dalam hal ini Balai KPH Yogyakarta. Disisi lain kemampuan pemegang ijin HTR untuk memahami alur penebangan dalam tatausaha kayu masih kesulitan.

Untuk mempersiapkan penebangan kayu, Javlec pun telah memberikan fasilitasi diklat tenaga teknis untuk pengurus koperasi pada tahun 2009. Ini dilakukan agar tahapan proses penebangan kayu di hutan negara sesuai dengan penatausahaan hasil hutan kayu, yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan.

Namun  sampai dengan tahun 2018, penebangan kayu itupun belum dapat dilakukan. Untuk merasakan manfaat atas IUPHHK HTR oleh petani-petani hutan,  yaitu dengan hasil kayu di atas konsesi kawasan hutan.

Sepertinya, ada keengganan dari Balai KPH Yogyakarta untuk memberikan izin penebangan dalam Rencana Kerja Penebangan. Padahal,  semua proses legal dan prosedural telah dilampaui oleh koperasi pemegang IUPHHK HTR.

Penulis: Exwan Novianto & Puji Raharjo
Pendamping Lapangan

Similar Posts